Senin, 30 Januari 2012

Filsafat dan Teori Pendidikan

PENDAHULUAN
     Pembahasan di Bab I ini lebih menekankan pada dasar filosofis dan teoritis ilmu pendidikan. Dalam hubungannya dengan aspek fundamental dalam ilmu pendidikan, maka dengan penyajian bahasan ini diharapkan para pembaca, mahasiswa, pendidik, dan pemerhati dunia pendidikan memahami secara benar dan baik bahwa pendidikan bukanlah merupakan persoalan teknis edukatif belaka, tetapi ada benang merah sebagai jiwa filosofis pendidikan dan teori pendidikan yang seharusnya merupakan fundamen/dasar dalam praktek pendidikan di lembagalembaga pendidikan. yaitu meliputi :
  1. Filsafat Pendidikan
  2. Tujuan pendidikan
  3. Beberapa konsep pendidikan
  4. Konsep pendidikan seumur hidup
Serba sekilas keempat hal tersebut dibahas pada paparan selanjutnya agar kita mendapatkan pemahaman tentang filsafat dan teori pendidikan.

A. PEMAHAMAN TENTANG FILSAFAT
    Sebelum membahas filsafat pendidikan nampaknya perlu memiliki pemahaman yang utuh dan benar tentang filsafat, baik sebagai ilmu maupun filsafat sebagai metode berpikir. Maksudnya agar diperoleh persepsi yang baik tentang filsafat pendidikan sehingga tidak tersesat di dalam hutan belantara ilmu pendidikan.
    Dalam hubungan itu, tampaknya anekdot berikut perlu dicermati : Dalam suatu ruang kuliah filsafat seorang profesor akan mengawali kuliahnya dengan menyampaikan mimik, gaya, pengucapan, dan pernyataannya sebagai berikut : “Saudara-saudara para mahasiswa, dalam satu semester ini Saudara akan berkenalan dengan seorang profesor melalui bahan kuliah ilmu filsafat yang pada saat mempelajari dan mengikutinya, Saudara akan mengalami kesulitan, mungkin. Itu suatu hal yang wajar, oleh sebab mempelajari filsafat dapat disamakan dengan mencari sesuatu yang amat sangat kecil yang warnanya sepekat ruang tempat berada atau hilangnya”. Pernyataan ini cukup memberikan gambaran kepada para mahasiswa bahwa untuk mempelajari filsafat tidak mudah, karena bahannya sangat abstrak dan umum hasil pemikiran atau spekulasi manusia. Pada suatu ketika mahasiswa tidak menemukan sesuai kehendaknya, yang dalam kasus ini bahan filsafat, maka dapat diberikan kemungkinan jawaban atau penyelesaian sebagai berikut :
  1.  Bahwa bahan filsafat memang sebenarnya ada, tetapi daya kemampuan berpikir manusia sangat terbatas, sehingga tidak mampu mengadakan koneksitas pemikiran
  2. Bahwa bahan filsafat tidak dapat dipahami karena kesalahan dalam cara bekerjanya pikiran mahasiswa, sehingga bahan ada tidak diketemukan.
  3. Bahwa kemungkinan bahannya tidak ada, karena memang hanya hasil spekulasi manusia, tetapi mahasiswa percaya bahwa bahan itu ada, sehingga dasarnya bukan pengertian tetapi kepercayaan. Paradoks bukan? Tetapi kenyataan memberikan bukti betapapun benar kenyataan tentang sesuatu bila tidak dilandaskan kepercayaan menjadi tidak benar.
  4. Kebalikan dari kenyataan di atas, bahwa bahannya tidak ada, tetapi mahasiswa percaya ada dan benar meskipun salah, dan memang tidak ada.
     Satu semester berjalan sudah, dan pada akhir kuliah profesor menutup kuliahnya dengan pernyataan kurang lebih sebagai beirkut: “Enam bulan kita berbincang-bincang tentang ilmu filsafat dan aliran-alirannya, tetapi dengan segala kerendahan hati kami katakan, bahwa apabila kami ditanya manakah diantara yang baik dan benar, maka jawaban saya adalah semuanya baik dan semuanya jelek, justru masing-masing aliran dengan segala kebijakan dan kelemahannya, dan silahkan para mahasiswa memilihnya sendiri yang dianggap paling memenuhi selera masing-masing dan kalau perlu tidak usah memilih”.
     Pernyataan di atas berusaha menjelaskan betapa kuatnya hasrat profesor untuk melestarikan kebebasan mimbar, atau mungkin dia sudah linglung (absentminded), atau mungkin juga ia sudah masuk perangkap gejala patologis psikis “abulia” dmana seseorang sampai pada tidak dapat memilih atau menjatuhkan pilihan, dan mungkin juga ingin meyakinkan; bahwa bahan filsafat ada tidaknya dan berguna tidaknya tergantung pada manusianya. Karena pada akhirnya semuanya itu hanyalah hasil pemikiran manusia. Inilah salah satu bahaya mempelajari filsafat seperti yang dijelaskan pada pembahasan tentang masalah tersebut. Sebelum sampai kepada persoalan tersebut, marilah kita telaah pengertian konsep istilah filsafat dan metode berpikir filosofis. Pemahaman tentang fisafat ini, tampaknya pengertian/definisi berikut perlu dikritisi :
    E.S. Ames merumuskan filsafat sebagai a comprehensive view of life and its meaning, upon the basis of the result of the various sciences. Tersimpul dalam definisi di atas adalah pengertian philosophy is the mother of the sciences dan synoptic thinking atau metode berpikir sinoptis. J.A. Leighton mendefinisikan filsafat sebagai a world-view, or reasoned conception of the whole cosmos, and a life-view, or doctrine of the values, meanings, and purpose of human life. Dari definisi ini kita mendapat gambaran pengertian filsafat sebagai sistem atau sistematika filsafat yaitu metafisika, etika, dan logika yang artinya secara berturut adalah teori tentang kosmologi dan ontologi, teori tentang nilai moral dan ajaran berfikir filosofis, yaitu logika formal Aristoteles dan logika simbolis dari George-Boole dan kawan-kawannya.
    Dari definisi di atas filosof berspekulasi melalui metode sinopsis tentang radikalisme segala sesuatu, dunia, hidup dan dengan segala makhluk yang menghuninya. Theodore Brameld dalam bukunya menyatakan salah satu definisi filsafat adalah the discipline concerned with the formulation of precise meaning, di mana menimbulkan kemungkinan salah satu/suatu istilah yang sama diartikan berbeda dan sebaliknya.
Tentang nilai yang disebutkan sebagai ethos, maka definisi filsafat adalah the symbolic expression of culture. Sehingga arti sesuatu konsep tidak mungkin berdiri sendiri dan selalu dikaitkan dan berkaitan dengan latar belakang filsafat dan kebudayaannya. Tidak ubahnya orang komunis dengan pongahnya akan mengatakan, bahwa ia seorang demokrat sejati, padahal kitapun latah mengatakan demikian dan jangan lupa bangsa Eropa Barat berhak untuk mengatakan demikian itu. Istilah yang digunakan sama, tetapi jelas pengertiannya berbeda. Untuk menghindari fallacy of ambiguity di atas, maka sementara pengulas filsafat mencoba mengajukan perumusan analitis tentang pengertian konsep filsafat yang antara lain terdiri atas, sebagai berikut: Filsafat sebagai metode berpikir. Salah satu daya jiwa manusia yang paling dapat dipercaya dan yang telah menghasilkan ilmu filsafat adalah pikir dan pikiran, tetapi dikenal berbagai jenis dan tingkat pikir, seperti berpikir religius, berpikir historis, berpikir sosiologis, dan berpikir empiris positif serta berpikir filosofis, dan berpikir spekulatif teoritis.
    Berpikir filosofis terdiri atas berpikir sinoptis, berpikir spekulatif dan berpikir reflektif. Seperti telah disinggung pada pembahasan di muka, berpikir sinoptis adalah berpikir merangkum, yaitu penarikan kesimpulan umum dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam suatu postulat atau aksioma melalui proses abstraksi dan generalisasi. Dari ilmu fisika, biologi, dan psikologi kita dapat menarik dalil-dalil, bahwa tiap peristiwa tentu ada sebab yang menjadikannya, dan setiap tingkah laku makhluk apapun tentu berarah tujuan, hidup, dan kehidupan ini menurut suatu peraturan tertentu. Sistem galaksi kita dan siklus pertumbuhan segala makhluk menurut tertib yang pasti.
    Berpikir radikal sebagai variasi berpikir filsafat yang lain adalah berpikir mendalam sampai batas radix, akarnya. Akar apa? Akar kenyataan, dunia, hidup, dan akar manusia, sampai pada akar tata kehidupan pemerintahan dan negara.
    Berpikir reflektif sebagai variasi ketiga dari metode filsafat merupakan kebalikan dari yang sinoptis, di mana dari suatu kasus peristiwa individual diajukan berbagai macam teori dan asumsi atau spekulasi untuk bidang dan masalah kehidupan yang lain.
    Bom atom Hiroshima adalah suatu substansi seperti halnya badan manusia, setelah meledak berubah menjadi energi (energy) dan hilanglah sifat kebendaannya seperti kemampuan pikir dan berpikir manusia. Filosofi bertanya apabila demikian apa beda antara manusia, benda, energi dan gerakan? Apabila sama, maka dari benda kembali ke benda, sehingga tidak sesuatu yang bersifat transendental. Ini berarti bahwa apabila manusia telah terpenuhi kebutuhan materinya tercapailah tujuan dari hasrat hidupnya.
    Filsafat sebagai sifat terhadap dunia dan hidup. Berbagai macam sikap yang dikembangkan oleh manusia terhadap alam semesta ini. Hidup adalah pengabdian, atau perjuangan untuk kekuasaan, atau memperoleh kenikmatan, atau menyerahkan diri kepada Tuhan seperti orang-orang pemeluk agama atau pencinta menciptakan karya ilmiah atau teori ilmiah bahwa teori filsafat yang spekulatif dan universal, bahkan mungkin hidup sekedar menunda kematian, bahkan dunia ini dipandang sebagai medan permainan sandiwara dan seterusnya yang masih banyak lagi. Dalam menghadapi keragaman sikap terhadap hidup dan dunia di atas
seorang manusia yang matang sikap hidupnya, haruslah menghadapi secara kritis, sikap terbuka, tidak dogmatis aprioris, toleransi dan bersedia meninjau segala persoalan hidup dan kehidupan manusia dari segala segi. Apabila pada suatu ketika seseorang harus menghadapi krisis dalam kehidupannya, maka situasi krisis tersebut dihadapi secara tenang dan dapat menguasai diri, merenungkannya secara bijaksana dan tidak dikuasai oleh kehidupan persaannya.
    Filsafat sebagai suatu rumpun problema (hidup dan keajaiban alam semesta). Sesuai dengan metode fisafat sebagai berpikir radikal, maka dalam kehidupan manusia dari semenjak dulu dihadapkan kepada persoalan hidup yang mendasar seperti : Apa itu agama, filsafat, kebudayaan dan ilmu pengetahuan ? Apa itu kebenaran atau kenyataan? Apa itu kenyataan yang benar dan salah? Bagaimana hubungan antara yang benar dan yang baik? Apakah yang dimaksud dengan kebebasan, keadilan dan kebenaran dan bagaimana hubungan antara ketiganya dengan kekuasaan? Apakah kebenaran di atas kekuasaan atau sebaliknya. Atau
keadilan di atas kekuasaan ataukah kekuasaan di atas kebenaran? Apakah segala peristiwa di dunia ini berjalan secara kebetulan? Apa yang dimaksud dengan konsep mind, matter, energy, and motion? Bagaimana hubungan antara Tuhan, manusia, kelanggengan dan kebebasan moral (indeterminisme)? Dan seterusnya yang masih banyak lagi.
    Sejalan dengan filsafat sebagai metode berpikir, maka filsafat dalam pengertian sistem terdiri atas tiga aspek atau tiga segi di mana antara yang satu dengan yang lain berkaitan. Tiga aspek atau kategori metafisika yang menjawab masalah kosmologi dan ontologi; etika yang menjawab persoalan nilai norma tingkah-laku yang baik dan tidak, benar atau tidak, yaitu teori-teori nilai-nilai etis yang mendasari tingkah-laku manusia, dan kategori logika yang menjelaskan sumber, alat dan kriteria ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir logis rasional. Bagan skematis pada halaman khusus berikut ini akan menjelaskan gambaran filsafat sebagai sistem di mana kategori yang satu tidak bertentangan dengan yang lain. Variasi komposisi teori tentang kategori-kategori sistematika filsafat di atas, menyebabkan timbulnya bermacam-macam aliran filsafat seperti idealisme, rasionalisme, realisme, empirisme, pragmatisme, materialisme, dan eksistensialisme. Masing-masing aliran di atas masih dapat dipecah menjadi tipetipe yang lebih banyak.
    Perlu diketahui, salah satu nilai manfaat mempelajari filsafat adalah bahwa dengan mempelajari filsafat kita memperoleh sistem nilai yang akan menentukan tingkah-laku perbuatan kita. Pada saat dan setelah mempelajari sistem-sistem filsafat kita akan dihadapkan kepada kenyataan terdapatnya sistem nilai ganda,
artinya dikembangkan baik penegak hukum (law-abiding citizen) maupun pelanggar hukum (law-breaking citizen), yaitu yang antara lain seperti kerja keras, sabar, keberanian, ketabahan, dan kesetiaan. Ini berarti, bahwa baik seseorang itu sebagai pejuang atau pengacau apabila ingin perjuangannya atau pengacauannya berhasil, maka haruslah mengembangkan nilai-nilai tersebut di atas. Dengan kata lain perbedaan antara kedua jenis manusia di atas tidak terletak pada tingkahlakunya, tetapi ditentukan oleh kenyataan lain umpamanya perbedaan sudut tinjauannya.
    Sebagai bahaya kedua ialah bahwa deviasi filosofis memberikan akibat fatal dalam kenyataan tingkah-laku manusia, kenyatan hidup dan penghidupannya, baik secara/sebagai individu atau warganegara. Dengan kata lain suatu deviasi filosofis yang tampaknya tidak signifikan, tetapi menyangkut masalah yang esensial dan fundamental, dengan sendirinya menyebabkan phenomena yang jauh berbeda. Bagi seorang idealisme yang absolut seperti Hegel, martabat manusia hanya terealisir apabila manusia meluluhkan diri pada sang absolut, yang transendental, sedang max (Marx) berpandangan bahwa manusia akan mencapai dan dapat bergelar manusia selama mereka meluluhkan diri ke dalam organisme negara yang absolut dan materialistis. Tetapi Dewey menentang segala macam bentuk dominasi apapun, di mana ia berkeyakinan bahwa manusia pada dasarnya adalah bernilai absolut, artinya sangat menjunjung martabat individu. Ketiga pola pemikiran di atas pada dasarnya adalah sama dalam menekankan konsep kemutlakan, tetapi berbeda dalam menempatkan atribut tersebut, apakah pada sang absolut negara totaliter dan individualitas manusia.
   Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang eksistensialisme, prinsip dialektika Hegel antara eksistensi non eksisten disintesiskan pada has to be (becoming), sedang Dewey mensintesiskan antara alat dan tujuan ke dalam sifat kontinyu, dimana alat untuk tercapainya suatu tujuan, dan tujuan akan menjadi alat apabila tujuan yang terdahulu telah dicapai. Pada Dewey, dunia dan manusia dibiarkan tanpa tujuan (non teleologis), sedang Hegel mengemukakan bahwa perkembangan dunia dan sejarah selalu terarah ke tujuan yang pasti (teleologis). Bahaya ketiga dari mempelajari filsafat ialah bahwa dengan selesainya mata kuliah filsafat, manusia merasa telah memiliki “jiwa” ilmu filsafat, telah mampu“berpikir filosofis”, bahkan mengangkat dirinya sebagai filosof. Sebaliknya dapat terjadi bahwa seseorang yang telah demikian mendalami bahan materi ilmu filsafat telah demikian jenuh dengan pemikiran filsafat dengan segala macam aliran, menyebabkan ia tidak tahu, tidak memahami teori filsafat. Oleh sebab semakin manusia ahli teori etika tambah tidak etis secara filosofis. Manusia demikian ini telah masuk perangkap sikap “abulia” atau suatu peristiwa dimana seseorang tidak dapat mengambil keputusan pilihan. Ia ahli ilmu filsafat tetapi bukan filosof, dia alim tetapi tidak soleh, atau juga mungkin filsafatnya aliran tidak berfilsafat. Banyak nilai kegunaan yang dapat kita peroleh dengan mempelajari filsafat,tetapi untuk memudahkan pengertiannya akan kami kemukakan beberapa saja,seperti terbaca di bawah ini, yaitu:
  1. Meskipun kita harus menghindari timbulnya pandangan, bahwa pengertian sudah menjamin perbuatan, namun pengertian serba sedikit tentang filsafat dapat digunakan sebagai pedoman dalam kenyataan hidup sehari-hari, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
  2. Betapapun kaburnya dan kesimpangsiuran pengertian kebebasan dan individualitas manusia, tetapi bilamana saja kita telah memiliki filsafat hidup, pandangan hidup yang mantap yang akan menentukan kriteria baik-buruknya tingkah laku kita.
  3. Atas dasar keputusan batin kita sendiri, manusia memiliki kebebasan dan kepribadian sendiri.
  4. Bahwa dalam keadaan masyarakat yang serba tidak pasti selalu mengalami perubahan yang cepat dan dialami individu atau akibatnya mengalami krisis batin, meskipun bervariasi tingkatannya dengan telah memiliki pengertian tentang filsafat hidup dapat kiranya dikurangi dan dihindari gejala negatif hidup dan penghidupan, sehingga lebih terarah dan mantap.
  5. Bahwa tingkah-laku manusia tentu bertujuan dan ini pada dasarnya ditentukan oleh filsafat hidupnya, maka dari itu manusia harus memiliki filsafat agar tingkah-lakunya lebih bernilai.

B. FILSAFAT PENDIDIKAN
  • Ilmu Pendidikan Sebagai Ilmu Pengetahuan Normatif
     Postulat di atas memberikan gambaran kepada kita bagaimana hubungan antara agama, filsafat dan kebudayaan yang pada suatu ketika dapat dijadikan dan ataumendasari pertimbangan-pertimbangan dalam merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan yang secara umum merupakan pokok-pokok masalah dalam ilmu filsafat pendidikan.
     Pengertian kata-kata yang tersimpul dalam rumusan postulat di atas dan konsep-konsep istilah yang berhubungan dengan itu dapat dijelaskan dalam bentuk pokok-pokok pikiran beserta bagan skematis ilmu pendidikan sebagaimana dapat diikuti dan dibaca di bawah ini :
  1. Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidahkaidah, norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan manusia. Atau ilmu pendidikan bertugas merumuskan peraturanperaturan tentang tingkah laku perbuatan makhluk yang bernama manusia dalam kehidupan dan penghidupannya.
  2. Sebagai ilmu pengetahuan praktis tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkan sistem-sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat.
  3. Sesuai dengan kenyataan di atas, ilmu pendidikan erat hubungannya dengan ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan normatif lainnya, yang dalam sejarah perkembangan merupakan bagian dari/yang tak terpisahkan dan baru pada abad modern ini memisahkan diri sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, disamping menyebabkan lahirnya cabang ilmu pengetahuan baru, yaitu filsafat pendidikan (1908).
  4. Ilmu pengetahuan yang dapat dimasukkan ke dalam ilmu pengetahuan normatif meliputi agama, filsafat dengan segala cabangnya, yaitu metafisika, etika, aestetika dan logika, way of life sosial masyarakat, kaidah fundamental negara maupun tradisi kepercayaan bangsa.
  5. Bahwa agama, filsafat dengan cabangnya serta istilah yang ekivalen lainnya menetukan dasar-dasar dan tujuan hidup yang akan menentukan dasar dan tujuan pendidikan manusia, dan selanjutnya akan menentukan tingkah laku perbuatan manusia dalam kehidupan dan penghidupannya.
  6. Bahwa dalam perumusan tujuan-tujuan eltimit dan proksimit pendidikan akan ditetapkan hakekat dan sifat hakekat manusia dan segi-segi pendidikan yang akan dibina dan dikembangkan melalui proses pendidikan sebagaimana yang tercantum atau dirumuskan dalam sistem pendidikan atau science of education.
  7. Bahwa sistem pendidikan dan science of education bertugas merumuskan alatalat, prasarana, pelaksanaan, teknik-teknik dan atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran dengan mana akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidikan, dan ini meliputi problematika kepemimpinan dan metode pendidikan, politik pendidikan sampai kepada seni mendidik (the art of education).
  8. Isi moral pendidikan atau tujuan intermediat adalah berisi perumusan norma-norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan dan atau merupakan konsepsi dasar nilai moral pendidikan yang berlaku di segala jenis dan tingkat pendidikan.
  9. Bahwa wajar setiap manusia memiliki filsafat hidup atau kaidah-kaidah berpikir dan pikiran tentang kehidupan dan penghidupannya, maka suatu keharusan agar setiap pendidik dan guru memiliki dan membina filsafat pendidikan menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas pendidikan dan pengajarannya, baik di dalam dan di luar lembaga pendidikan formal sekolah, yaitu di dalam masyarakat. Untuk memahami ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif, berikut disajikan bagan yang dapat memberikan gambaran secara umum pembagian ilmu pendidikan dengan berbagai bidang yang dicakupnya. Bagan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa cakupan ilmu pendidikan secara teoritis dan praktis, yang di dalam ciri praktisnya ilmu pendidikan sebagai ilmu normatif. 
  10. Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendidikan; hakikat dan sifat hakikat manusia hakikat dan segi-segi pendidikan; isi moral pendidikan; sistem pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan dan metodologi pengajarannya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.
  • Hubungan Filsafat dan Filsafat Pendidikan
     Argumentasi-argumentasi dalam bentuk pokok-pokok pikiran-pikiran berikut ini akan memberikan kepada kita “pengertian dan dasar alasan” mengapa ilmu filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap guru atau pendidik. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa setiap manusia individu harus bertindak, termasuk bertindak dalam pendidikan, secara sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
  2. Demikian pula setiap individu harus bertanggungjawab, termasuk tanggungjawab dalam pendidikan, yang tinggi rendahnya nilai mutu tanggungjawab tersebut akan banyak ditentukan oleh sistem dasar nilai norma yang melandasinya.
  3. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki filsafat hidup, demikian pula manusia yang hidup dalam dunia pendidikan harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan “ guidepost”, tonggak papan penunjuk jalan sumber dasar, tujuan tindakan dan tanggungjawabnya dalam pendidikan.
  4. Suatu kenyataan bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan terhadap mana individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas, terbuka, kritis dengan meninjaunya dari segala segi baik positif dan negatifnya.
  5. Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya, maka ia tidak netral lagi dan menyakininya dan mengamalkan aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa tanggungjawab.

C. PENDEKATAN-PENDEKATAN FILSAFAT PENDIDIKAN
     Filsafat pendidikan sebagai filsafat terapan, yaitu studi tentang penerapan asas-asas pemikiran filsafat pada masalah-masalah pendidikan pada dasarnya mengenal dua pendekatan yang polaritis, yaitu :
  1. pendekatan tradisional,
  2. pendekatan progresif.
     Pengertian masing-masing pendekatan dan variasi pendekatan daripadanya dan aliran-aliran filsafat pendidikan dihasilkannya akan dijelaskan di bawah ini:
  • Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam filsafat pendidikan melandaskan diri pada asas-asas sebagai berikut:
  1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari filsafat pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat.
  2. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap, kekal dan abadi.
  3. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan obyektif.
  4. Bahwa tujuan yang baik dan benar menenukan alat dan sarana, artinya tujuan yang baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.
  5. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology, democracy dan industry) adalah sarana alat untuk prosperity of life dan bukannya untuk welfare of life sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang ditentukan oleh filsafat.
  • Pendekatan Progresif
Sebagai penghujung yang lain dari pendekatan di atas dan dari kontinuitas aliran filsafat pendidikan adalah pendekatan progresif kontemporer dengan dasar-dasar pemikiran sebagai berikut:
  1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat sosial humanisme ilmiah, yang skeptis terhadap kenyataan yang bersifat metafisis transendental.
  2. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup yang esensial adalah kenyataan yang selalu berubah dan berkembang.
  3. Bahwa truth is man-made, artinya kebenaran dan kebajikan itu adalah kreasi manusia, dengan sifatnya yang relatif temporer bahkan subyektif.
  4. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relatif ditentukan oleh perkembangan tenaga pengembang sosial dan manusia, yang merupakan sumber perkembangan sosial masyarakat.
  5. Bahwa antara tujuan dan alat adalah bersifat kontinu, bahwa tujuan dapat menjadi alat untuk tujuan yang lebih lanjut sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat.
      Dua pola dasar pendekatan di atas dapat dibagi menjadi bermacam-macam variasi yang antara lain seperti: religious philosophy of education, humanistic metaphysical philosophy of education, humanistic epistemological philosophy of education, cultural philosophy of education, social philosophy of education dan dari variasi kategorisasi pendekatan ini masih akan dipecah-pecah lagi ke dalam bermacam-macam aliran filsafat pendidikan, yang kualifikasinya dapat diikuti di bawah ini.

D. ALIRAN-ALIRAN DAN KRITERIA FILSAFAT PENDIDIKAN
     Berdasarkan atas dua pola dasar pendekatan dan variasi kelimanya, maka akan dicoba pengajuan suatu sistematika kategorisasi klasifikasi aliran filsafat pendidikan sebagai berikut, yaitu:
  1. Kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua kelompok yang tradisional meliputi aliran perennialis, assensialisme, idealisme dan realisme; dan kelompok progresif meliputi progresivisme, rekontruksionisme dan eksistensialisme.
  2. Kategori filsafat religius theistis meliputi segala macam aliran agama yang paling tidak terdiri atas empat besar agama di dunia ini, dengan segala variasi sekte-sekte agama masing-masing.
  3. Kategori filsafat pendidikan sosial politik. Kategori ini dalam sejarahnya dikenal bermacam aliran, yaitu humanisme, nasionalisme, liberalisme, sekulerisme, fasisme, dan sosialisme.
     Kategori klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan di atas adalah bersifat arbitrary dan tentatif, karena kami menyadari betapa sulitnya mengadakan klasifikasi dalam bidang atau cabang ilmu pengetahuan sosial dan kerohanian. Oleh sebab masing-masing aliran di atas saling tertindih (overlapping), sehingga perbedaan dan persamaan antara bermacam-macam aliran filsafat pendidikan di atas harus dipandang sebagai bersifat kontinu. Sebagai misal umpamanya Deweyisme dan Komunisme memiliki persamaan dan perbedaan antara keduanya, karena sama-sama mengakui dan merupakan adaptasi metode berpikir dialektika Hegel yang idealistis absolut.
     Demikian pula aliran eksistensialisme merupakan variasi dari aliran filsafat pendidikan tradisional dan filsafat progresif, oleh sebab secara epistemologi keduanya dapat dikategorikan pada aliran humanis yang ilmiah. Dalam bidang metafisika keduanya jauh berbeda yang satu skeptis sedangkan yang lain religius eksistensialis, dimana kemampuan berfikir dan pikir manusia dan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia hanyalah sebagian kecil dari mystery of nature, sehingga setiap penemuan baru tentu manusia dihadapkan pada marge di ujung sisi apa yang telah dikuasai manusia dan ujung sana mystery yang akan dikenai eksplorasi.
Pertama-tama harus diingat yang dimaksud dengan kriteria kualifikasi di sini tiada lebih merupakan kriteria memenuhi syarat, lengkap-tidaknya suatu aliran filsafat pendidikan tertentu, dan bukannya baik tidaknya benar tidaknya suatu aliran atau sistem filsafat pendidikan. Oleh sebab persoalan terakhir ini relatif ditentukan
oleh keputusan batin masing-masing guru, pendidik atau individu. Sesuai dengan kenyataan, bahwa filsafat pendidikan merupakan terapan ilmu filsafat terhadap problem pendidikan, dan sejalan dengan pembahasan tentang ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif serta definisi filsafat pendidikan dalam pembahasan terdahulu, maka kriteria kualifikasi filsafat pendidikan, artinya memenuhi persyaratan secara lengkap, dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut
  • Menyelesaikan problem essensial filsafat pendidikan :
  1. merumuskan secara tegas sifat-hakikat pendidikan (the nature of education)
  2. merumuskan sifat-hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man)
  3. merumuskan secara tegas hubungan antara agama, filsafat, dan kebudayaan
  4. merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan science of education (teori pendidikan)
  5. merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan
  6. merumuskan sistem nilai-norma, atau isi moral pendidikan (tujuan intermidiit)
  • Rincian problem essensial perlu dan harus dikemukakan, karena tidak semua aliran filsafat pendidikan sebagai sistem filsafat terapan, tidak selamanya dan mungkin diajukan. Tiada jarang individu, guru, pendidik, yang mempelajari filsafat pendidikan harus melengkapi penyelesaian problem yang belum lengkap berdasarkan atas rumusan yang telah dirumuskan secara implisit. Dalam merumuskan sesuatu yang implisit dari yang eksplisit dapat terjadi selisih interpretasi.
  • Di samping menjawab problem essensial filsafat pendidikan, maka suatu aliran atau sistem yang memenuhi kualifikasi harus pula bersifat “terbuka”, untuk dikenai kritik evaluatif tentang segi kebaikan dan kelemahannya.
  • Sebagai kriteria yang ketiga adalah bahwa filsafat pendidikan harus masih menempatkan individu dengan freedom of choice-nya atau memberi kesempatan kepada individu untuk berpikir kritis dan reflektif, dan tidak berpikir secara dogmatis, atau tradisional.

E. MANFAAT FILSAFAT PENDIDIKAN
     Sesuai dengan dasar alasan mengapa kita mempelajari filsafat pendidikan dan dalam rangka memahami nilai manfaat mempelajari filsafat pendidikan, maka terlebih dahulu diajukan tiga asumsi dasar yang ada kaitannya dengan persoalan ini.
  1. Bahwa Unexamined life is not worthwhile living, hidup tanpa perenungan (apa arti hakekat hidup) adalah suatu kehidupan yang kurang bobot.
  2. Bahwa apabila pendidikan sebagai proses eksperimentasi, maka berbeda dengan eksperimentasi dalam ilmu eksakta fisika, eksperimentasi pendidikan (sosial) berhasil tidaknya tidak mudah atau tidak segera kita ketahui atau buktikan.
  3. Bahwa berbuat salah tetapi tahu atau sadar akan kesalahannya, lebih baik daripada berbuat baik tetapi tidak tahu letak kebaikannya.
      Apabila ketiga asumsi dasar di atas benar, dan memang tidak terlalu salah, maka dapat dikemukakan beberapa nilai manfaat yang mungkin dapat diperoleh dengan jalan mempelajari filsafat pendidikan, yang antara lain sebagai berikut :
  1. memberi kesempatan kepada kita membiasakan diri untuk mengadakan perenungan mendalam, atau berteori, betapapun kurang atau belum sempurnanya teori tersebut.
  2. membiasakan kita berpikir kritis dan reflektif terhadap problem-problem kehidupan dan penghidupan manusia.
  3. memberikan pengertian yang mendalam akan problem-problem essensial dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problem pendidikan
  4. memberikan kesempatan pada pendidik/guru untuk meninjau kembalipandangan filsafat pendidikan yang selama ini diyakininya
  5. bahwa berdasar kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan dalam pengertian betapa banyaknya pandangan tentang dasar-dasar dan tujuan pendidikan, maka dituntut kepada setiap pendidik/guru untuk meninjau secara terbuka, bebas, kritis, reflektif terhadap segala macam perbedaan tersebut.

Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar