PENDAHULUAN
Dalam kaitannya
dengan pengamalan nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat
senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk. Dalam hal ini berkaitan
dengan moral dan juga berkaitan dengan sikap. Moral adalah ajaran tenggang baik
buruk, perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya. Dalam moral
diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik (dihindari).
Sedangkan sikap secara
umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal. Selain
itu dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai kehidupan, maka moral
merupakan control dalam sikap dan bertigkah laku sesuai dengan nilai-nilai
hidup (tenggang rasa, selalu memperhatikan perasaan orang lain).
Dengan demikian
keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkah laku akan tampak dalam
pengamalan nila-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih
dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap
tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku
sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “Mos” (Moris),
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu,
seperti :
- Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain.
- Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras, dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah
laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh
kelompok sosialnya.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Moral
Perkembangan Moral seorang anak banyak dipengaruhi
oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya,
terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.Dalam mengembangkan moral
anak,peranan orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil.
Beberapa sikap orang tua yamg perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan
moral anak, di antara sebagai berikut.
- Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang
sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu
tingkah laku anak yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga
dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
- Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap
anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan
moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orang tua yang keras
(otoriter) cederung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap
yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang
betanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang
sebaiknya dimiliki oleh orang tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan,
musyawarah (dialogis ), dan konsisten.
- Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut.
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak,
termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang
menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau
bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami
perkembanahn moral yang baik.
- Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma.
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong,
atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku
berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat
beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka
anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan
ketidakkonsistenan (ketidakajegan) orangtua itu sebagai alasan unyuk tidak
melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan
berperilaku seperti orangtuanya.
2.3 Proses Perkembangan Moral
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu :
- Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman penegrtian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya. Disamping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral ini adalah keteladanan dari orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.
- Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orangtua, guru, kiai, artis, atau orang dewasa lainnya).
- Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikan.
Dalam membahas proses perkembangan moral ini,
Lawrence Kohlerg (Ronald Duska dan Mariellen Whelan, dalam Dwija Atmaka, 1984;
Abin Syamsuddin M., 1999) mengklasifikasikannya ke dalam tiga tingkat yaitu:
- Tingkat Pra-Konvesional
Pada
tahap ini, anak mengenal baik-buruk, benar-salah suatu perbuatan, dari sudut
konsekuensi (dampak atau akibat) menyenangkan (ganjaran) atau menyakiti
(hukuman) secara fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima
- Tahap Orientasi Hukuman dan Kepatuhan
Anak
menilai baik-buruk, atau benar-salah dari sudut dampak (hukuman atau ganjaran)
yang diterimanya dari yang mempunyai otoritas (yang membuat aturan), baik orang
tua atau orang dewasa lainnya. Disini anak mematuhi aturan orang tua agar
terhindari dari hukuman.
- Tahap Orientasi Relativis-Instrumental
Perbuatan
yang baik dan benar adalah yang berfungsi sebagai instrument (alat) untuk
memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri. Dalam hal ini hubungan dengan orang lain
dipandang sebagai hubungan orang di pasar (hubungan jual beli). Dalam melakukan
atau memberikan sesuatu pada orang lain, bukan karena rasa terima kasih atau
sebagai curahan kasih sayang, tetapi bersifat pamrih (keinginan untuk
mendapatkan balasan): “Jika kau memberiku, maka aku akan memberimu”.
- Tingkat Konvensional
Pada
tingkat ini, anak memandang perbuatan itu baik atau benar, atau berharga bagi
dirinya apabila dapat memenuhi harapan atau persetujuan keluarga, kelompok,
atau bangsa. Disini berkembang sikap konformitas, loyalitas, atau penyesuaian
diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan sosial masyarakat.
- Tahap Orientasi Kesepakatan antar Pribadi, atau Orientasi Anak Manis (Good Boy/Girl)
Anak
memendang suatu perbuatan itu baik, atau berharga baginya apabila dapat
menyenangkan, membantu, atau disetujui atau diterima orang lain.
- Tahap Orientasi Hukum dan Ketertiban
Perilaku
yang baik adalah melaksanakan atau menunaikan
tugas atau kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan memelihara
ketertiban sosial.
- Tingkat Pasca Konvensional
Pada
tingkat ini ada usaha individu untuk mengartikan nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari
otoritas kelempok, pendukung, atau orang yang memegang/menganut prinsip-prinsip
moral tersebut. Juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk
kelompok itu atau tidak.
- Tahap Orientasi Kontrol Sosial Legalistis
Perbuatan
atau tindakan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak-hak individual
yang umum, dan dari segi aturan atau patokan yang telah diuji secara kritis,
serta disepakati oleh seluruh masyarakat. Dengan demikian, perbuatan yang baik
itu adalah yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
- Tahap Orientasi Prinsip Etika Universal
Kebenaran
ditentukan oleh keputusan kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang
logis, universalitas, dan konsistensi. Prinsip-prinsip etika universalitas ini
bersifat abstrak, seperti keadilan, kesamaan HAM, dan penghormatan kepada
martabat manusia.
2.4 Pengertian Sikap
Dalam pengertian umum, sikap adalah rasa senang atau
tidak senang terhadap obyek, baik berupa oaring, binatang atau benda. Perilaku
menunjukkan tindakan seseorang dalam situasi tertentu. Sikap merupakan suatu
konsep yang mampu menjembatani keadaan psikologis seseorang dengan sasaran
prestasinya sebagai salah satu dari konsep kawasan afektif, sikap juga bersikap
abstrak dan tidak jelas karena ada didalam budi nurani seseorang manusia. Sikap
adalah suatu keadaan psikologi yang dapat menimbulkan tingkah laku tertentu
dalam situasi yang tertentu pula dimungkinkannya kondisi psikologis dalam diri
seseorang karena sikap telah internalisasi dalam sistem nilai yang dianutnya
untuk selanjutnya menjalani menjadi tingkah laku.
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap
suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan
mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk
perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari
konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat
diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons
reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau
situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology
menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap
tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung
beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu,
selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective
attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu.
Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam
struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga
berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri.
Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari
sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga
pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
2.5 Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap Remaja
Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri,
dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati
dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode penting dalam pembentukan nilai.
Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai
adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau
petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju
kepribadian yang semakin matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral
remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai
tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan
mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja
terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan
situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran
akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap
sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara
pribadi.
Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai
remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang
cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap
menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila
kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya
kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh
para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan
berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala
sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta
berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.
2.6 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nilai, Moral
dan Sikap
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis,
sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola
kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral
dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola
interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan
berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta
sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan berkembang
dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak
jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar
anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki
nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi
diragukan.
2.7 Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai,
Moral Dan Sikap
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta
dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu
dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang
dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga
yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara
berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada
keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya
berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan
selebritis.
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi
perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang
sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung
oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori
perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu
dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan
pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun
dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan
individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan
lebih maju tingkat pemikirannya.
2.8 Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap
Remaja serta Implikasisnya dalam Penyelenggaraan
Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha
menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga.
Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya
tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan
perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan
agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan,
hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan
nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat
berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan. Upaya pengembangan nilai,
moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di
lingkungan sekolah.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ada tiga konsep yang masing-masing
mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan
perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1.
Nilai
Nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
2.
Moral
Istilah
moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan,
adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.
3.
Sikap
Fishbein
(1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek.
Dalam konteksnya
hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu
dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan
baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan
moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap
individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Suatu
sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral,
dan sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan,
pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif
lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang
baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
DAFTAR
RUJUKAN
- Yusuf, Syamsu. 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
- Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad, 2006.
Psikologi Remaja. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
- Corey, Gerald, 2009, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT Refika
Aditama.
- Hurlock, Elizabeth B. 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta:
Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar