Selasa, 31 Januari 2012

Masalah Makro Pendidikan dan Pendidikan Moral

PENDAHULUAN
   Pada dekade yang lalu, kritik terhadap pendidikan formal terus berlanjut di seluruh dunia. Input sekolah tradisional, seperti latihan guru atau pengeluaran beaya per siswa, tidak terlalu memiliki pengaruh terhadap skor tes anak yang telah diantisipasi para pendidik. Lulusan dari semua level memiliki kesulitan yang berarti untuk mencari kerja yang mereka harapkan, di mana 15 tahun yang lalu para perencana memprediksikan defisit di sejumlah lulusan sekolah yang diperlukan untuk memenuhi pekerjaan yang diharapkan yang cenderung meluas pada tahun 1980an. Akhirnya persekolahan bebas tidak dapat mengatasi jurang pemisah antara kaya dan miskin seperti yang diharapkan para perencana. Masalah ini lebih serius di negara-negara berkembang, di mana sumber daya banyak dimanfaatkan untuk bertahan hidupnya mayoritas miskin, yang untuk menyelenggarakan persekolahan sangat kecil.

A. MASALAH PRIORITAS
     Tujuan buku ini adalah untuk melihat kembali bukti yang merupakan dasar untuk menumbuhkan kritik, dan untuk menggambarkan implikasinya bagi pembuatan keputusan pada tahun 1980-an. Pembahasan ditujukan ke arah issue sentral yang dihadapi para pendidik dan perencana yang menghendaki pembaharuan sistem pendidikannya. Sedikit sekali negara yang sukses mengimplementasikan pembaharuan pendidikan. Dilemanya adalah sebuah pilihan antara alternatif-alternatif yang samasama tidak memuaskan bagi masyarakat dalam membuat pilihan. Banyak negara berkembang mencoba mengatasi dilema pendidikannya dengan alternatif-alternatif yang telah ditentukan dengan baik. Haruskah kepemimpinan negara menentukan
berlangsungnya sekolah menengah dan perguruan tinggi yang lebih mahal daripada pendidikan dasar? Haruskan sumber daya digunakan untuk memperluas kuantitas dan memperbaiki kualitas pendidikan 9 tahun pertama persekolahan termasuk pendidikan nonformal bagi orang dewasa? Jika pendidikan menengah dan tinggi yang diperluas, sementara akan menghasilkan pengangguran terdidik, bukankah hal ini investasi yang sia-sia? Sementara penekanan pada pendidikan dasar dan pendidikan orang dewasa menimbulkan issue kebijakan yang sulit lainnya. Apakah perbaikan sekolah dasar dapat meningkatkan ketrampilan anak dan masyarakat?
    Pemecahan kebijakan terhadap dilemma ini dan issue-issue itu bergantung pada jenis "pengembangan" yang diusahakan kepemimpinan politis. Jika tujuan utama negara adalah pertumbuhan ekonomi, para perencana menggunakan hasil keuntungan ekonomi, dapat dilakukan dengan pengurangan pengeluaran negara untuk pendidikan tinggi dan sekolah menengah ke atas, dan meningkatkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan dasar dan latihan vokasional untuk pekerja-pekerja desa. Di beberapa negara, ada pengurangan anggaran untuk pendidikan formal. Jika tujuan utama negara adalah untuk memperbaiki standard kehidupan mayoritas penduduk yang miskin dan distribusi pendapatan, para perencana dapat meningkatkan program pendidikan orang dewasa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemecahan masalah serta memberikan dana untuk orang-orang desa untuk mengorganisasi dan memperbaiki lingkungannya. Untuk menghadapi dilema itu, tiap negara berbeda menyelesaikannya. Di Pakistan dan Colombia lebih menekankan perluasan pendidikan dasar dan mengurangi pendidikan menengah dan tinggi. Di Cina dan Kuba membatasi jumlah anak yang mengikuti lebih dari 10 tahun sekolah bagi mereka yang ingin masuk pekerjaan yang menghendaki pendidikan tinggi. Dua negara ini tujuan pendidikannya untuk mencapai melek huruf, mengembangkan tenaga kerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

B. MASALAH-MASALAH UMUM SISTEM PENDIDIKAN
     Selama 10 tahun yang lalu banyak pengamat mencatat bahwa pendidikan formal gagal memenuhi kebutuhan mayoritas yang miskin. Pendidikan formal memberikan latihan untuk daerah urban, white collar jobs, sementara banyak pekerjaan dan banyak ketrampilan yang dikembangkan cenderung manual dan untuk daerah pedesaan. Anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat melanjutkan pendidikan formal. Gunnar Myrdal, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi, menyatakan bahwa "orang miskin tidak terdidik untuk melihat minat mereka dan mereka tidak terorganisasi dalam berjuang untuk memenuhi minatnya". Issue-issue pendidikan sentral dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:
  1. Ketidakefisienan sekolah dan sistem pendidikan, dapat diukur tingkat drop-out yang tinggi, lulusan yang tidak cakap, kurangnya kertas, pensil, buku teks, dan bahkan kurang guru; 
  2. Ketidaksepadanan antara apa yang dihasilkan sekolah dengan apa yang dibutuhkan pekerja, warga negara, pemuda, dan orang tua -- problem ini tampak dari banyaknya pengangguran terdidik;
  3. Ketidaksamaan distribusi kesempatan dan hasil pendidikan ke daerah urban dan desa.
     Masalah-masalah itu berlangsung lama dan sulit dipecahkan, dan para analis sampai pada 4 kesimpulan utama. Pertama, kurangnya pengetahuan dan batasan teknis tentang perencanaan pendidikan menjadi alasan mengapa sistem pendidikan lambat berubah. Ke dua, tujuan perubahan berencana dalam sistem pendidikan disusun oleh lembaga-lembaga politis dan ekonomis dari suatu negara. Ke tiga, kualitas dan kuantitas sekolah kurang mencapai tujuan nasional untuk mobilitas sosial dan kesamaan, pengembangan tenaga manusia untuk tumbuh belum tercapai; Ke empat, banyak investasi pendidikan untuk keuntungan sosial dan ekonomis yang tinggi daripada untuk mereka yang kurang punya. 
  • Efisiensi Investasi Pendidikan
      Efisiensi investasi pendidikan mengaitkan pencapaian kombinasi optimum input seperti latihan guru dan pengeluaran per anak dengan pencapaian tujuan dengan beaya kecil, misalnya level prestasi tertentu. Di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa input sekolah cenderung kurang diperhatikan untuk memprediksi prestasi anak, dengan tes sekolah terstandard daripada memperhatikan faktor-faktor keluarga dan faktor luar sekolah lainnya. Penataran guru yang kini dipraktekkan di banyak negara untuk meningkatkan prestasi anak mungkin hanya sebuah mitos saja.
  • Dampak Pendidikan pada Pekerjaan, Migrasi, dan Fertilitas
     Secara tradisional, pendidik memiliki perhatian yang kecil tentang apa yang terjadi setelah anak meninggalkan sekolah. Hal ini menjadi tanggungjawab keluarga, pekerja, dan menteri tenaga kerja. Issue yang muncul adalah tingkat pengangguran lulusan sekolah dan ketidakpuasan pekerja tentang apa yang telah mereka pelajari, tidak sepadannya antara persekolahan dengan pekerjaan. Martin Carnoy mengemukakan bahwa pengangguran terdidik tidak disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, melainkan justru oleh sistem ekonomi, dimana mereka mendapat keuntungan dengan tingginya tingkat pengangguran, sehingga upah bisa ditekan. Jumlah lulusan sekolah yang meningkat menyebabkan migrasi desa ke kota yang cukup tinggi. Hal ini menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang tak terkontrol. Para pembuat keputusan beranggapan bahwa makin tingginya pendidikan akan mengurangi jumlah fertilitas. Namun, belum ada penelitian yang menopang anggapan bahwa makin tinggi pendidikan makin mengurangi fertilitas.
  • Alokasi, Persamaan, dan Konflik dalam Perencanaan Pendidikan
      Belum ada petunjuk tentang pengaruh penanaman rupiah yang diinvestasikan ke buku teks terhadap skor tes anak atau pada produktivitasnya mendatang. Edgar Edwards menyatakan bahwa pertumbuhan pengangguran terdidik sebagai indikasi pertumbuhan konflik antara swasta dan sosial. Namun pekerjaan tidak akan diciptakan sampai pengangguran terdidik itu menjadi ancaman bagi stabilitas politik. Beberapa pengamat menyarankan investasi pendidikan negeri dihentikan, sehingga meningkat pendidikan swasta. Ada dua pendekatan ekonomik yang digunakan untuk menentukan apakah pemerintah perlu mengeluarkan sedikit atau banyak dana untuk pendidikan: manpower planning approach, yang menganalisis suplai calon tenaga terlatih untuk suatu pekerjaan khusus dan suplai pekerjaan yang diperlukan untuk pekerjaan itu, dan rate of return terhadap investasi pendidikan, yang menghitung keuntungan dari investasi semacam itu.
Tujuan umum merencanakan investasi dalam pendidikan adalah untuk memperbaiki kesempatan mobilitas si miskin dan mempersempit kesenjangan dalam distribusi inkam. Perluasan pendidikan dasar dan menengah adalah salah satu hasil dari investasi itu. Samuel Bowles menyatakan bahwa akar ketidaksamaan sosial di negara-negara kapitalis terletak pada struktur kelas dan dalam pengembangan ekonomi yang tidak merata. Sekolah tidak dapat secara langsung mempengaruhi ketidaksamaan ini. Para tuan tanah dan kaum elitis tradisional sedikit memiliki minat dalam memperluas sistem pendidikan, karena mereka tidak memerlukan pekerja terdidik, sementara pemilik pabrik dan administrator pemerintahan memerlukannya.
     Pertanyaannya adalah dapatkah perencanaan perubahan pendidikan mengatasi topik-topik "manpower analysis”, kesamaan, alokasi sumber daya, dan modelsistem? Dalam kesimpulan, penulis mereview issue-issue kebijakan sekitar dilema dalam pendidikan. Ada dua kelompok pemikiran mengapa perubahan pendidikan tidak lebih baik. Pertama, kelompok teknis dan inkrimental berpendapat bahwa sampai dewasa ini informasi yang lengkap tentang masalah-masalahsistem pendidikan dan sebab-sebabnya tidak lengkap untuk merancang perubahan yang dapat diimplementasikan dengan sukses. Ke dua, kelompok struktural berpendapat bahwa kekuatan politik dan ekonomi yang mempengaruhi keputusan pendidikan sangat kuat, bahwa mereka harus diubah sebelum pendidikan diharapkan dapat diubah.

C. PEMIKIRAN KEILMUAN PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA PADA PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN
     Secara kultural historis diketahui bahwa (i) kegiatan pendidikan merupakan bagian integral kebudayaan, dan berusia setua manusia yang dikenal sebagai homosapien di muka bumi; hal itu berarti bahwa kegiatan pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama 80.000 tahunan yang lalu. Secara sosiologis hal itu berarti bahwa keluarga dan kelompok- kelompok pada masyarakat suku-suku bangsa di Nusantara 300-500 suku bangsa telah melakukan pendidikan terhadap generasi mudanya. Kegiatan pendidikan yang terkait dengan kegiatan kebudayaan tersebut juga berjalan seiring dengan jenis kehidupan kemasyarakatan, seperti masyarakat pemburu, peramu, hortikultur, agraris, dan kemudian (abad 16 terlebih lagi sejak berlakunya cultur stelsel tahun1870) industri. (ii) kegiatan kemasyarakatan sukusuku bangsa di Nusantara mewujudkan ekspresi manusiawi baik segi individualitas maupun sosialitas yang terwujud dalam kerja individual, kerjasama, konflik, perkelahian, bahkan‟ perang atau perkelahaian massal „menuruti kehendak pimpinan kelompok atau kepala suku sejalan dengan tipe warga masyarakat pemburu, peramu, hortikultutur, agraris, dan industri. Kegiatan kemasyarakatan suku-suku bangsa yang berinteraksi sesamanya tersebut dapat menghasilkan hal-hal yang monumental seperti terbentukya bahasa tertulis pada bebera suku bangsa, bangunan sejarah, pakaian, senjata, adat-istiadat, alat dan perlengkapan hidup, ataupun keraton di
**Adopsi tulisan Prof. M.Dimjati disiapkan untuk Konferensi FIP/JIP di Makasar.
     Nusantara. (iii) kegiatan kemasyarakan dan kebudayaan berbagai kelompok dan suku bangsa di Nusantara tersebut menjadi bertambah maju berkat adaptasi unsur kebudayaan bangsa lain yang berkunjung di Nusantara, atau berakibat “terhambat” berkat konflik, perselisihan, perkelahian massal atau peperangan antar penguasa kehidupan, sehingga suku-suku bangsa di Nusantara “terperangkap dalam sistem kapitalisme- koloniasisme-imperealisme budaya Eropa abad 16-20 ). (iv) secara historis, sosiologis, kultural, dan psikologis pergaulan suku- suku bangsa tersebut meninggalkan berbagai unsur kebudayan yang berupa cultural- activity, traitscomplex , traits, dan items seperti adat istiadat dan hukum adat, sistim bahasa tertulis, lembaga persekolahan (hasil adaptasi) dan lembaga pendidikan lain, alat dan perlengkapan hidup suku-suku bangsa sesuai masyarakat pemburu-peramuhortikultur- agraris dalam pola kraton beserta tradisi konflik dengan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Peninggalan perilaku kultural, sosiologi dan psikologis tersebut masih ada pada saat Indonesia merdeka, bahkan masih terjadi dewasa ini. (v) terkait dengan kegiatan pendidikan sebagai bagian integral kebudayaan tertemukan adanya ceritra rakyat dan kesusastraan dalam bahasa lisan atau tertulis, dan berbagai lokal knowledge, local philosophy (di samping filsafat
Pancasila), local language, local arts and technology beserta pola perilaku pemeliharaan anak bangsa. Peninggalan unsur-unsur kebudayan ini merupakan modal pemajuan kegiatan pendidikan dalam milenium ketiga yang sudah datang.
      Secara epistemis kritis di antara unsu-unsur kebudayaan tersebut masih dapat dilacak secara historis unsur-unsur ”tertentu“ mana yang berasal dari unsur kebudayaan India, Cina, Arab, Portugis, Belanda, Inggris (atau Eropa yang lain ) dan unsur “tertentu“ mana yang berasal dari kebudayan lokal atau suku bangsa sendiri dan mana pula yang berasal dari suku bangsa Nusantara serta yang “buatan baru“
kebudayan Nusantara (Indonesia).

D. PERMASALAHAN KELEMBAGAAN TENAGA KEPENDIDIKAN
     Pendidikan tidak saja perlu diamati sebagai sebuah bidang garap (field of practice), namun juga perlu ditempatkan sebagai bidang kajian/penelitian (field of study), bahkan sebagai sebuah pranata (institution). Sebagai sebuah bidang garapan, praktek pendidikan senantiasa mengalami permasalahan, baik yang konvensional maupun yang kontemporer. Masalah konvenional pendidikan senantiasa bergerak pada lima tema: masalah mutu, masalah relevansi, masalah pemerataan (layanan antar wilayah dan standard baku mutu), masalah efisiensi, dan masalah efektivitas. Masalah kontemporer terkait dengan sensasi-sensasi, isu-isu, dan kecenderungan-kecenderungan baru, seperti globalisasi, dampak teknologi, dan otonomi daerah. FIP/JIP dan LPTK adalah lembaga yang paling berkepentingan dengan kedudukan pendidikan sebagai bidang kajian dan sebagai pranata. Sebagai bidang kajian dan institusi, pendidikan juga sarat dengan persoalan. Berikut adalah beberapa persoalan menonjol terkait dengan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam kedudukannya sebagai bidang kajian dan sebagai pranata.
  • Tercabutnya akar filosofis teoritik ilmu pendidikan
      Tercabutnya akar filosofis teoritik ilmu pendidikan berakibat pada hilangnya identitas pendidikan sebagai disiplin ilmu. Dunia ilmu pendidikan dan komunitas pendidikan terjebak semakin dalam pada perdebatan praktek pendidikan yang tidak bisa dirunut kembali di mana akar filosofis teoritiknya. Buchori (1994) pernah mengajak komunitas kependidikan (khususnya ilmuwan pendidikan) membuat taksonomi yang tegas antara ilmu pendidikan dan praktek pendidikan, di mana praktek pendidikan harus mengabdi kepada ilmu pendidikan. Salah satu buktinya adalah (pernah hadinya) keinginan Pemerintah menyerahkan pendidikan calon-calon guru sekolah menengah untuk berbagai mata pelajaran subject matter kepada Universitas (yang membina ilmu non kependidikan) dan tidak lagi kepada IKIP/LPTK (Buchori, 1994:2). Peristiwa inilah yang pernah ditandai sebagai “lonceng kematian untuk ilmu pendidikan”.
  • Kambing hitam atas krisis moral dan kemanusaian
     Kegoyahan pemikiran dan kebijakan Pendidikan Nasional semakin keras di tengah era reformasi sekarang ini. Salah satu kritik yang sulit sekali dilawan atau diberikan bantahannya adalah klaim bahwa kebobrokan kehidupan berbangsa bernegara saat ini adalah akibat tidak mampunya dunia pendidikan menunaikan tugasnya selaku desainer sumber daya manusia. Klaim lain yang banyak ditujukan kepada perguruan tinggi pendidik tenaga pendidikan (lazim disebut LPTK) adalah tidak qualified-nya tenaga pendidik (guru) yang dihasilkannya dengan indikator tidak dikuasainya materi belajar (subject matter) yang diajarkannya di sekolahsekolah.
  • Lulusan FIP/JIP tak bisa diangkat
     Klaim lainnya adalah tidak ada jabatan formal yang bisa ditempati atau dapat menerima lulusan JIP/FIP itu, khususnya di Departemen Pendidikan Nasional. Dengan situasi itu maka pemerintah tidak bisa mengalokasikan pengangkatan mereka sebagai guru atau tenaga kependidikan. Berdasarkan alasan itu maka JIP/FIP tidak perlu ada karena hanya akan menghasilkan pengangguran.
  • Lulusan IKIP/FIP/JIP tidak menguasai bahan
     Guru-guru lulusan LPTK dianggap under-qualified untuk mengajar di sekolah karena kurang menguasai materi belajar akibat hanya belajar sebagian dari disiplin ilmu yang harus diajarkannya di sekolah. Berdasarkan alasan itu maka “produksi” tenaga guru sebaiknya diserahkan kepada universitas yang membina ilmu murni, kemudian “ditambah dengan sedikit saja ilmu keguruan”. Dengan demikian maka lulusan ilmu murni itu lebih siap menjadi guru sekolah daripada lulusan LPTK. Soal berikutnya bagi JIP/FIP adalah betapa tidak pentingnya ilmu mendidik itu bagi calon guru, karena hanya bersifat sertifikasi atau sebagai sekedar kemampuan tambahan setelah ilmu murni (specific subject matter). Berdasarkan hal-hal tersebut ada dua isu besar yang mengancam eksistensi ilmu pendidikan beserta kelembagaan FIP/JIP di Indonesia, yaitu 
  1. dipandang tidak perlunya tenaga ekspert yang menguasai teori pendidikan murni untuk pendidikan nasional,
  2. pendidikan tenaga pendidik/guru bisa dilakukan dengan cara sedikit menambah kemampuan metode keguruan untuk sarjana/mahasiswa ilmu murni.
  3. Duaisu itu menjadi demikian kritis pada masa pasca kebijakan konversi kelembagaan IKIP menjadi Universitas.
  • Kegundahan FKIP
     Pada sisi lain ada juga kegundahan sejenis yang menimpa kolega pemangku kajian pendidikan yang bernaung di dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Universitas-universitas. Kegundahan itu sebagian bersumber pada hal yang sama dengan FIP/JIP yaitu ancaman terhadap kewenangannya menghasilkan tenaga guru (karena bisa jadi diambil alih oleh komunitas ilmu murni dengan spesific subject matter jelas). Dan kegundahan yang lain bersumber pada lari atau dirampasnya sumber daya manusia dan fasilitas pendidikan (robbering resources) yang dimiliki FKIP oleh fakultas ilmu murni karena berbagai sebab atau alasan (personal atau pun kelembagaan). Secara perlahan namun pasti, FKIP di Univeritas-universitas susut menjadi bidang/fakultas kelas dua karena sebagian besar sumber daya manusianya lari/pindah kepada fakultas ilmu murni, demikian juga sebagian fasilitas pembelajaran yang dimilikinya (periksa Joni, 2000).
  • Profesionalisasi yang belum tertata
     Secara objektif masih terdapat guru dan tenaga kependidikan yang bekerja tidak sesuai dengan spesialisasinya. Guru Bahasa mengajar ketrampilan, guru matematika mengajar kesenian, pamong belajar yang asal comot dari warga kampung, kepala sekolah yang tak tahu manajemen pendidikan, pengawas yang sekedar perpanjangan masa pensiun dan tak tahu supervisi, dan segudang permasalahan profesionalisasi lainnya. Mulai sekarang profesionalisasi harus ditata. Di tengah arus kuat peminggiran JIP/FIP dan FKIP oleh komunitas ilmiah dan komunitas berbangsa-negara dan khususnya pada pendidikan tenaga kependidikan tersebut segenap “awak sistem” FIP/JIP (dan FKIP) perlu melakukan apa?

E. PENGEMBANGAN MORAL
     Apakah sekolah memiliki suatu tujuan moral? Dapatkah kebajikan diajarkan? Haruskah pembentukan karakter mengambil preseden pada latihan intelek? Apakah orang yang berkembang secara rasional, secara otomatis berkembang secara etik? Apakah sekolah-sekolah dewasa ini terbatas mengajarkan moralitas sekuler? Haruskah sekolah berhenti mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan nilai? Dalam sejarah pendidikan, para filosof, teoritisi, pekerja pendidikan dan masyarakat pada umumnya telah merespon pertanyaan-pertanyaan di atas. Di hampir semua negara, terutama pada awal-awal Amerika, mengajar tentang nilai moral secara didaktik, biasanya dengan interpretasi religius tertentu merupakan hal penting dalam proses pendidikan.
     Walaupun hubungan langsung antara agama dan sekolah memudar, namun image bahwa guru sebagai suatu model nilai perlu diakui, dan dimensi etik kegiatan sehari-hari dan hubungan kemanusiaan mewarnai suasana sekolah walaupun ada halangan kurikuler yang terkait dengan kontroversi moral. Pembahasan normatif yang mewarnai lingkungan pendidikan menyebabkan adanya pandangan bahwa sekolah adalah dunia "benar" dan "salah", "baik" dan "tidak baik". Dewasa ini,kita dihadapkan pada mencoba mendefinisikan dan menggambarkan intensi moral pendidikan negeri. Adanya kegusaran kontroversi terhadap penggunaan bahan nilai dalam pengajaran dan terhadap pendekatan metodologis tampak pada beberapa perusakan nilai. Masalah lain yang muncul dalam usaha menggambarkan peranan sekolah adalah: dapatkan usaha-usaha sekolah menjadi suplemen usaha-usaha rumah dan gereja; dapatkah sekolah mencegah hadirnya suatu "moralitas kelas menengah" yang acuh tak acuh terhadap dasar budaya dari nilai-nilai kelompok minoritas; haruskah sekolah memperjuangkan pertentangan kekuatan manipulasi nilai dari media massa dan budaya yang telah populer? Ada dua pendekatan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dewasa ini.
     Pertama, pendekatan yang awalnya dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg yang mengaitkan pertumbuhan etik dengan level kematangan kognitif, menemukan rentangan tahap-tahap moral dari penolakan hukuman sampai pengakuan prinsip-prinsip universal. Pendekatan lainnya adalah apa yang dikembangkan oleh Louis Raths, Sydney Simon, Marrill Harmin, dan Howard Kirschenbaum, yaitu klarifikasi nilai. Strategi pendidikan moral ini adalah membantu pelajar mengerti sikap, preferensi atau pilihan, dan nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Bertentangan dengan pendekatan Kohlberg yang rasional, metode ini menekankan pada perasaan, emosi, sensitivitas, dan persepsi yang disampaikan.
  1. Tahap-Tahap Pertumbuhan Moral
      Laorence Kohlberg mengemukakan pendektan pengembangan kognitif yang telah dinyatakan pertama oleh John Dewey. Pendekatan ini disebut "cognitive" karena mengakui bahwa pendidikan moral, seperti halnya pendidikan intelektual, memiliki dasar dalam menstimulasi berpikir aktif anak tentang isu-isu dan keputusan moral. Disebut pengembangan karena pendekatan ini melihat tujuan pendidikan moral sebagai gerakan melalui tahap-tahap moral. Menurut Dewey: Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan, baik intelektual maupun moral. Prinsip-prinsip etika dan psikologis dapat membentu sekolah memperbesar semua konstruksi -- membangun kebebasan dan karakter yang kuat. Dewey mengemukakan tiga level pengembangan moral:
  1. level perilaku pramoral atau pra konvensional dari yang didorong oleh dorongan biologis dan sosial yang hasilnya untuk moral,
  2. level perilaku konvensional, dimana individu menerima standard kelompoknya dengan sedikit refleksi kritis,
  3. level perilaku otonomis, dimana perilaku dibimbing oleh pemikiran dan pertimbangan individu untuk dirinya sendiri, apakah tujuan itu baik, dan apakah tidak menerima standard kelompoknya tanpa adanya pemikiran.
     Piaget mengembangkan usaha penjelasan tahap-tahap penalaran moral pada anak melalui interview aktual dan melalui observasi anak (dalam permainan dengan aturan-aturan). Ada 3 tahap pengembangan moral menurut Piaget sebagai berikut:
  1. tahap pra-moral, tidak ada rasa wajib atas peraturan-peraturan;
  2. the heteronomous stage, adanya hak untuk patuh terhadap peraturan dan kesamaan kewajiban dengan tunduk terhadap kekuasaan dan hukuman (antara umur 4 - 8 tahun);
  3. tahap otonomis, di mana tujuan dan konsekuensi mengikuti peraturan dipertimbangkan dan kewajiban didasarkan atas timbal balik dan nilai tukar ( antara umur 8 - 12 tahun).
     2.  Pertimbangan Moral vs Tindakan Moral
     Jika penalaran logis diperlukan sementara kondisi tidak memadai untuk pertimbangan moral yang matang, maka pertimbangan moral yang matang perlu tetapi dengan kondisi yang tidak memadai untuk tindakan moral yang matang. Seseorang tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip moral jika seseorang tidak mengerti (atau meyakini) prinsip-prinsip moral. Namun orang dapat menalar prinsip-prinsip dan tidak hidup dengan prinsip-prinsip itu.

     3. Tujuan Moral dan Pendidikan Kewarganegaraan
     Psikologi moral menggambarkan pengembangan moral. Pendidikan moral harus juga mempertimbangakan filsafat moral, yang menekankan pada apakah pengembangan moral itu secara ideal bisa dicapai. Tradisi filsafat moral yang kami tunjukkan adalah tradisi liberal dan rasional, yaitu tradisi "formalistik" dan "deontologis" yang bergerak dari Immanuel Kant ke John Rawls. Inti tradisi ini adalah moralitas adalah prinsip, prinsip-prinsip yang universal dapat diterapkan kepada semua hal.

     4. Pendekatan Alternatif
       Pendekatan alternatif pertama adalah pendidikan moral indoktrinatif, mengajarkan dan pengenaanperaturan dan nilai-nilai guru dan budaya kepada murid. Di Amerika, ketika pendekatan indoktrinatif ini dikembangkan secara sistematik, pendekatan ini biasa disebut "pendidikan watak". Pendekatan alternatif ke dua adalah klarifikasi nilai. Pendekatan ini diawali dengan pendekatan rasional untuk pendidikan moral, menggunakan pertimbangan atau opini anak sendiri untuk isu-isu atau situasi di mana terjadi konflik nilai.

     5. Klarifikasi Nilai
        Howard Kirschenbaum mengemukakan tentang teori klarifikasi nilai kembali ke tahun 1964 ketika salah seorang murid Sid Simon mengatakan kepadanya tentang 7 kriteria dari Louis Raths untuk pengembangan nilai. Ia belajar bahwa jika suatu keyakinan atau perilaku dikualifikasikan sebagai nilai, menurut Raths, harus:
  1. dipilih dari alternatif-alternatif;
  2. dipilih setelah dipertimbangkan konsekuensinya;
  3. dipilih dengan bebas;
  4. dihargai dan dinilai;
  5. diperkuat secara umum;
  6. dilaksanakan;
  7. dilaksanaan dengan beberapa pola dan repetisi.
       Penulis buku ini sangat terkesan. Ia tumbuh dalam sistem pendidikan yang melakukan sedikit tetapi memoralkan dan mengindoktrinasi. Jarang penulis diberi peluang untuk menyentuh apa yang dipikirkan adalah penting, dihargai dan dinilai. Ia menyatakan dalam buku ini bahwa kita juga tidak memiliki peluang untuk menjajagi alternatif atau membuat pilihan yang bebas sebagai bagian dari pendidikan kita. Dan sekolah tidak melibatkan kita dalam bertindak; sedikit sekali yang kita lakukan dalam hidup di dunia yang nyata ini. Jika anak-anak didorong untuk melihat banyak alternatif, mempertanyakan nilai-nilai, dan bertindak sesuai dengan idealitasnya, saya yakin mereka dapat memainkan peranan yang integral dalam mengubah dan memperbaiki masyarakat dan dunia kita. Penulis ini yakin bahwa sedikit tujuan pendidikan lebih penting daripada membantu anak menentukan siapa mereka, apa pendirian mereka, dan ke mana mereka ingin pergi. Kita mengubah penekanan pada kriteria untuk suatu nilai ke proses penilaian. Kita mempertanyakan: Apakah semua proses dengan mana individumencapai identitas, mengembangkan nilai, dan menentukan apakah pendirian mereka dan apa yang mereka harapkan dari hidup? Bidang-bidang "pemilihan, penghargaan, dan perbuatan" tentang klarifikasi nilai tidak cukup waktu untuk menemukan semua jawaban.
Menurut penulis ini, ada 5 proses umum dalam mengkaji tiga bidang penilaian itu, yaitu : 
  1. Merasa,
  2. Memikirkan,
  3. Mengkomunikasikan,
  4. Memilih,
  5. Melakukan atau bertindak.
Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM.

Pendidikan dan Tujuan Pendidikan

PENDAHULUAN
       Pekerjaan mendidik bukanlah pekerjaan yang gampang. Kebanyakan awam berpandangan bahwa mendidik hanyalah pekerjaan meniru apa yang diamati dari orang tua atau guru kemudian ditiru. Hal ini menjadi benar jika pendidikan dilaksanakan tidak secara profesional. Perbedaan antara orang yang profesional dengan yang tidak profesional adalah bagi orang yang profesional mengetahui “mengapa” ia melaksanakan laku-laku mendidik yang dia jalankan dengan dasar-dasar teori yang telah mereka kuasai, sementara orang yang sekedar meniru apa yang dilakukan orang lain tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Untuk itu seorang pendidik harus menguasai teori-teori pendidikan dan ilmu pendidikan agar dapat melandasi kerjanya secara profesional. Bahasan berikut memberikan wawasan dasar tentang pendidikan, teori-teori pendidikan dan tujuan pendidikan. Dengan pemahaman terhadap ketiga hal itu diharapkan setiap orang yang bekerja dalam dunia pendidikan tidak sekedar melaksanakan tugas tanpa mengerti wawasan teoritis yang melandasinya.

A. PENGERTIAN DASAR
       Sebelum membahas aspek Tujuan Pendidikan tampaknya perlu dicermati pengertian-pengertian dasar agar pemahaman aspek ini menjadi utuh dan benar. Dalam hubungan ini dari segi semantik terlebih dahulu perlu kiranya diterangkan dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Paedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan dari para paedagogos itu. Jadi, nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani Kuno sebagian besar diserahkan kepada paedagogos itu. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin/memfasilitasi). Perkataan paedagogos yang mulanya berarti “rendah (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan yang mulia. Paedagoog (pendidik atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri.
     Dengan alur pemahaman semantik di atas, dapat kita katakan dengan singkat : mendidik ialah memimpin/memfasilitasi anak. Mudah benar rupanya kata-kata itu. Tetapi, sesungguhnya tidak semudah apa yang kita sangka. Ucapan tersebut mengandung banyak masalah yang dalam dan pelik. Mendidik adalah pengertian yang sangat umum yang meliputi semua tindakan mengenai gejala-gejala pendidikan. Belumlah tepat kiranya kita menjawab pertanyaan tersebut di atas dengan singkat sebelum kita mencoba menguraikan pada pembahasan berikut. Memang, kebanyakan orang masih menganggap enteng dan mudah terhadap hal mendidik itu. Kebanyakan orang tua mendidik anak-anaknya hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya saja. Mereka banyak meniru perbuatan nenek moyangnya yang belum tentu benar dan baik. Mereka beranggapan bahwa kepandaian mendidik itu sudah dengan sendirinya akan dipunyai oleh setiap orangdari pergaulannya dengan anak-anak. Mereka percaya bahwa dalam setiap situasi, “intuitif” akan mendapat sikap dan yang tepat. Jadi mereka berkehendak bekerja secara “intuitif” belaka, tidak atau kurang maumempelajari dan menyelidiki hal mendidik secara ilmu pengetahuan, secara teoritis. Bukan berarti bahwa kita tidak menghargai pengalaman-pengalaman dalam praktek dan mementingkan teori belaka. Sekali-kali tidak! Menurut pandangan ini, mendidik berdasarkan hasil-hasil penyelidikan (teori) dan berdasarkan pengalamanpengalaman (praktek) lebih banyak dan baik hasilnya daripada hanya berdasarkan
pengalaman dan intuisi belaka.
     Seorang pendidik membimbing atau memimpin/memfasilitasi pertumbuhan anak, jasmani maupun rohaninya. Sama halnya tukang kebun, ia pun tidak memaksa pertumbuhan anak sekehendaknya. Ia tidak dapat membuat anak agar lekas berjalan atau berkata-kata jika memang belum waktunya. Demikian pula, ia tidak mencetak anak itu untuk menjadi dokter, insinyur, ahli negara, atau hal-hal yang memungkinkan tercapainya tujuan itu. Dalam pertumbuhannya, jasmani dan rohani, anak itu berkembang sendiri, dan perkembangannya itu menurut tempo dan iramanya sendiri pula yang tidak sama antara anak yang satu dan anak yang lain. Anak mempunyai pembawaan dan bakat sendiri-sendiri. Pendidik hanya dapat memimpin/memfasilitasi perkembangan anak itu dengan mempengaruhinya dari luar, seperti dengan memberi makan yang cukup sehat, memberi pakaian, menjaga supaya anak terhindar dari penyakit, menyediakan alat-alat dan memberi kesempatan untuk bermain, menasehati, melarang, menghukum, menyekolahkan, dan kalau perlu memindahkan anak itu ke
dalam lingkungan yang lebih menguntungkan. Nyatalah bahwa tiap-tiap tindakan pendidikan terhadap anak didiknya mengandung maksud tertentu, ada tujuan hendak dicapai. Untuk sementara, kita dapat mengatakan bahwa umumnya orang mendidik anaknya dengan maksud agar anaknya itu mempunyai bekal yang dapat dipergunakan dalam kehidupannya kelak, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Kita tidak dapat menyamakan begitu saja pekerjaan seorang pendidik dengan pekerjaan tukang kebun. Pertumbuhan seorang anak tidak dapat disamakan dengan pertumbuhan sebatang tanaman. Perkembangan anak atau manusia tidak hanya melulu biologis. Jika perkembangan anak dapat ditentukan hanya dengan hukumhukum biologis yang sudah tetap, seperti diuraikan di atas, maka lapangan pekerjaan kita para paedagoog, akan sangat terbatas. Pekerjaan kita akan sama benar dengan tukang kebun, yang menurut L. Gurlit akan terbatas pada “membiarkan tumbuh, memelihara, menjaga, dan menolong” makhluk muda itu.
       Pendirian para paedagoog naturalis memang demikian. Mereka pesimistis dalam tindakannya mendidik anak (akan diuaraikan lebih lanjut). Tetapi tugas pendidik tidak hanya “membiarkan tumbuh” pada anak didiknya. Pendidik hendaknya berusaha agar anak itu menjadi manusia yang lebih mulia. Anak atau manusia itu adalah makhluk yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut norma-norma kesusilaan; ia dapat memilih dan menempatkan apa-apa yang akan dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya. Jadi, teranglah bahwa perkembangan manusia tidak dapat disamakan begitu saja dengan perkembangan biologis melulu, seperti pada tumbuh-tumbuhan. Dalam hal ini, berhati-hatilah kita mengumpamakan pekerjaan mendidik itu dengan pekerjaan seorang tukang kebun.

B. ALASAN ANAK HARUS DIDIDIK
    Dari uraian pembahasan di atas, sudah jelas bagi kita bahwa pertumbuhan seorang anak tidak dapat disamakan secara mutlak dengan pertumbuhan sebatang tanaman. Oleh sebab itu, sekarang timbullah dalam diri kita pertanyaan-pertanyaan: Haruskah anak itu mendapat pendidikan? Bagaimana jadinya jika anak itu tidak didik? Siapa yang berkewajiban mendidik anak itu? Ke mana akan kita bawa anak itu dengan pendidikan kita? Alat-alat pendidikan manakah yang akan dipergunakan supaya pendidikan itu dapat mencapai tujuannya?
    Dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang bertentangan dengan alam pikiran kita. Seekor anak kalajengking yang baru lahir, dengan secepat-cepatnya lari merangkak ke atas punggung induknya. Kalau tidak berlaku demikian, ia pasti disergap dan dimakan oleh induknya. Setelah anak kalajengking itu agak besar dan dapat mencapai makanannya sendiri, larilah ia sekencang-kencangnya melepaskan diri dari induknya yang pelahap itu. Laba-laba betina memakan ketika hampir masanya ia bertelur. Mungkin hal ini dilakukan untuk menjaga anak-anaknya nanti agar jangan dimakan oleh bapaknya yang pelahap itu. Jadi, untuk melindungi anaknya dari bahaya. Lain benar cara yang berlaku pada kalajengking dan pada laba-laba itu dengan cara yang berlaku pada burung dan binatang-binatang lain. Seekor burung betina yang sedang mengerami telur di sarangnya, jarang dan hampir tidak mau meninggalkan sarangnya itu sampai telurnya menetas. Jantanlah yang bersusah payah mencari makanan untuk induk yang mengeram itu. Jika telurnya sudah menetas, Kedua burung jantan dan betina itu mencari makanan untuk anak-anaknya yang masih lemah itu. Sesudah anak-anaknya agak besar dan cukup bulunya untuk belajar terbang, datanglah waktunya sekarang bagi kedua burung melatih anakanaknya terbang dari ranting satu ke ranting yang lain. Mula-mula dekat saja, lamakelamaan agak jauh; mula-mula rendah dan lama-lama agak tinggi, dan seterusnya, sehingga anak-anaknya itu pandai terbang dan mencari makanan sendiri seperti induknya. Sesudah itu, lepas dan terpisahlah burung-burung muda itu dari pengawasan dan perlindungan induknya.
    Demikian pula, seekor kucing yang beranak pada waktu anak-anaknya masih lemah, disusuinya anaknya itu, dibersihkan badannya dengan air ludahnya. Sebelum anaknya itu menjadi besar, anak-anaknya itu dilatih berbagai macam gerakan menerkam dan lari seperti kepandaian yang dimiliki oleh induknya. Pada saat tertentu anak-anaknya itu tidak boleh menyusu lagi. Setelah menjadi besar dan dapat mencari makanan sendiri, lepaslah anak-anak kucing itu dari induknya. Demikianlah contoh-contoh tersebut, kita mengerti bahwa binatang pun “mendidik” atau lebih tepat dikatakan melatih anak-anaknya. Binatang memelihara, melindungi, dan mengajar anak-anaknya sampai anak-anaknya itu dapat berdiri sendiri seperti induknya.
Samakah pendidikan yang dilakukan binatang-binatang itu dengan pendidikan yang dilakukan manusia? Terus terang, kita katakan tidak. Manusia mempunyai kelebihan dari binatang. Binatang “mendidik” anak-anaknya secara instingtif. Kepandaian “mendidik” yang ada pada binatang bukan karena dipelajari dari binatang lain, melainkan kepandaian yang sudah ada pada tiap-tiap jenis binatang dan sifatnya tetap, tidak berubah atau hampir tidak berubah. Juga kemampuan-kemampuan untuk belajar yang ada pada binatang-binatang muda itu adalah kemampuan-kemampuan yang sudah ada dalam pembawaan dan akan berkembang dengan sendirinya tanpa pengaruh dari luar. Belajar secara demikian dalam psikologi disebut sebagai instingtif. Hal yang demikian juga lebih dekat dikatakan pengajaran instingtif. Jadi, tindakan-tindakan yang kita lakukan terhadap hewan itu bukanlah pendidikan, melainkan “dresur”. Demikianlah, kita dapat mendresur anjing untuk keperluan berburu, kuda untuk menarik pedati atau delman, kerbau atau lembu untuk membajak, dan sebagainya. Pertama-tama, pada tindakan insting tidak terdapat pengertian tentang tujuan terakhir dari tindakan itu. Marilah kita mengambil dua contoh. Bayi yang baru lahir, yang menyusu, tidak tahu bahwa dengan begitu ia sedang mengambil makanan, apalagi mengetahui bahwa hal itu sangat perlu untuk kelangsungan hidupnya. Jadi disini tidak ada pandangan tentang apa yang akhirnya harus dicapai. Bayi tadi menurut terus pada nafsu. Begitu pula anjing jika mengejar binatang buruan karena menuruti kecenderungan bawaannya. Ia tidak dapat bertindak lain, ia didorong ke situ. Disinilah terlihat ciri yang kedua dari tindakan instink: tindakan itu dilakukan otomatis dan tidak bebas. Ciri yang pertama dari tindakan instinktif ialah tindakan itu dilakukan sekaligus dan tidak sesudah beberapa percobaan; tindakan itu tidak dipelajari dan tidak berdasarkan pengalaman Lain halnya dengan apa yang terdapat dalam situasi pendidikan yang sesungguhnya. Jika kita menyuruh anak mengerjakan sesuatu, tentulah kita menganggap bahwa anak tadi dapat mengerti diperintah kita. Pengertian mengenai apa yang diharapkan dilakukan olehnya merupakan syarat supaya ia dapat menurut perintah itu.
     Dari uraian di atas jelas bahwa dresur tidak dapat disamakan dengan pendidikan. Dengan kata lain, “pendidikan yang dilakukan terhadap binatang berlainan dengan pendidikan yang dilakukan terhadap manusia. Dalam beberapa hal memang ada persamaan. Persamaan itu umumnya terletak pada pertumbuhan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmaniah, sedangkan pada manusia haruslah diperhitungkan pula perkembangan psikisnya. Binatang adalah makhluk alam, yang tidak berkebudayaan. Manusia bilangan alam, tetapi juga termasuk bilangan kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang lebih tinggi daripada binatang; manusia adalah makhluk yang berbudi, berpikir; manusia adalah anggota dari persatuan, masyarakat. Dengan adanya budi dan pikiran itu, manusia dapat menimbang-nimbang, memilih mana yang akan dilakukan dan mana yang tidak. Ia dapat memilih dan menentukan dari berbagai kemungkinan yang akan dilakukannya. Ia lebih bebas dalam melakukannya, tetapi pertanggungjawabannya lebih besar pula. Sedangkan pada binatang tidak demikian. Perbuatan binatang terikat oleh alam, oleh instingnya; binatang tidak mengenal tanggung jawab. Karena perbuatan itulah, kehidupan manusia jauh lebih sulit daripada kehidupan binatang. Itu pula yang menyebabkan mengapa masa muda pada manusia itu lebih lama daripada masa muda yang dialami oleh binatang.

C. PERGAULAN DAN PENDIDIKAN
    Dari rumusan di atas nyatalah bahwa pendidikan yang sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pendidikan memang kita dapati pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa dan orang dewasa tidak disebut pergaulan pendidikan (pergaulan pedagogis) sebab di dalam pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh yang terdapat dalam pergaulan itu. Yang ada adalah saling membelajarkan. Demikian pula, pergaulan antara anak-anak dan anak-anak tidak dapat pula dinamakan pergaulan pedagogis, walaupun kita sering melihat dalam pergaulan antar anak, seorang anak yang menguasai dituruti oleh anak-anak yang lain. Kekuasaan yang ada pada anak-anak terhadap teman-temannya tidak bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu tidak tertuju pada suatu tujuan pedagogis secara disadarinya dan tidak dilakukan dengan sengaja. Jadi, pergaulan pedagogis hanya terdapat antara orang dewasa dan anak (orang yang belum dewasa). Tetapi, kita harus ingat bahwa tidak tiap-tiap pergaulan antara orang dewasa dan anak bersifat pendidikan. Banyak pergaulan dan hubungan yang bersifat netral saja, tidak bersifat pedagogis, misalnya, orang tua menyuruh mengambil kaca mata bukan karena bermaksud mendidik, melainkan karena ia sendiri enggan mengambil. Misalnya lagi, seorang yang berpropaganda untuk menjual buku-bukunya yang bersifat cabul kepada anak-anak, tidak dapat dilakukan pergaulan pedagogis.
    Pergaulan itu disebut pergaulan pedagogis, jika orang dewasa atau si pendidik sadar akan kemampuannya sendiri dalam tindakannya terhadap anak yang “tidak mampu apa-apa” itu, tetapi disamping itu, ia masih ada percaya bahwa anak memiliki kemampuan unruk membantu dirinya sendiri. Lebih jelas lagi : dalam pergaulannya dengan anak-anak, orang dewasa menyadari bahwa tindakannya yang dilakukan terhadap anak itu mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang masih perlu ditolong untuk membentuk dirinya sendiri. Dengan ciri kebelum-dewasaannya anak masih perlu memperoleh bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Sementara orang dewasa telah dapat berdiri dan belajar atas keputusan dirinya sendiri karena semua tindakan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri.
    Mengapa mendidik itu dikatakan memimpin/memfasilitasi perkembangan anak, dan bukan membentuk anak? Memang, kata “memimpin/memfasilitasi” di sini tepat. Anak bukanlah seumpama segumpal tanah liat yang dapat diremas-remas dan dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut kenyataan hampir semua manusia diusahakan dididik, baik oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan negara. Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri, tumbuh sendiri; tetapi di dalam keaktifannya itu ia harus dibantu, dipimpin, dibimbing, dan difasilitasi. Dalam hal ini ada tiga teori yang melandasi pendidikan. 
  • Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)
    Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan atau lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.  
  • Teori Nativisme (Schopenhauer)
    Lawan dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa. Aliran pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabularasa disebut aliran optimisme. Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua-duanya ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi. 
  • Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak ditentukan atau dipengaruhi oleh dua faktor: pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan. Oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
    Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial; perkumpulan anak-anak), di situlah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua juga dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan badanbadan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua - baik material maupun moral - tidak dapat mencukupi, misalnya, karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai. Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin/memfasilitasi dan mendirikan sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pimpinan ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.

D. TUJUAN PENDIDIKAN
Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Akan dibawa ke manakah sebenarnya anak didik itu? Soal ini adalah soal yang paling sulit dibicarakan dalam hal mendidik. Soal “tujuan pendidikan” merupakan soal yang prinsipil dalam pedagogik. Maka dari itu, sebelum kita membicarakan tujuan pendidikan yang khusus berlaku di negara kita dewasa ini (Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 12 tahun 1954, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), untuk sekadar menambah pengetahuan kita tentang pendidikan, marilah kita tinjau dahulu beberapa hal. Segala apa yang kita katakan tentang tujuan pendidikan ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup.
  • Tujuan dan Kepribadian Pendidik
    Dalam sajian di muka sudah dikatakan bahwa pendidikan ialah pimpinan orang dewasa terhadap anak dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Jadi, di sini terang bahwa tujuan umum pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang berarti bahwa ia harus dapat menentukan masa depan diri
sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Anak harus dididik menjadi orang yang sanggup mengenal dan berbuat menurut kesusilaan. Orang dewasa adalah orang yang sudah mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagaman, kebenaran, dan sebagainya, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma itu serta bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan. Seorang pendidik tidak akan tahu kemana anak akan dibawanya (dididik) jika tidak mengetahui jalan hidupnya.
  • Macam-Macam Tujuan Pendidikan
    Di dalam bukunya Beknopte Theoretische Paedagogiiek, Langeveld mengutarakan macam-macam tujuan pendidikan sebagai berikut :
               a. Tujuan umum
               b. Tujuan-tujuan tak sempurna (tak lengkap),
               c. Tujuan-tujuan sementara,
               d. Tujuan-tujuan perantara, dan
               e. Tujuan insidental.

     a) Tujuan Umum
         Tujuan umum disebut juga tujuan sempurna, tujuan terakhir, atau tujuan bulat. Tujuan umum ialah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua atau pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu. Tujuan umum ini tidak akan dan tidak dapat selalu diingat oleh si pendidik dalam melaksanakan pendidikannya. Oleh karena itulah, tujuan umum itu selalu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus (dikhususkan) mengingat keadaan-keadaan dan faktor-faktor yang terdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya.

     b) Tujuan-Tujuan Tak Sempurna
         Yang dimaksud dengan tujuan tak sempurna atau tak lengkap ini ialah tujuan-tujuan mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup yang tertentu, seperti keindahan, kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan, seksual, kecerdasan, dan sosial. Oleh karena itu, kita dapat juga mengatakan, pendidikan keindahan, pendidikan kesusilaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan intelektual, dan lain-lain yang masing-masing dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang terkandung di dalam masing-masing seginya. Tujuan tak sempurna ini bergantung kepada tujuan umum dan tidak dapat terlepas dari tujuan umum itu. Memisahkan tujuan tak lengkap menjadi tujuan sendiri sehingga merupakan tujuan terakhir atau tujuan umum dan pendidikan menjadi berat sebelah, dan berarti tidak mengakui kepribadian manusia sebulat-bulatnya dan seutuh-utuhnya. Ingatlah pendidikan hendaklah harmonis, integral, dan seimbang.

     c) Tujuan-Tujuan Sementara
         Tujuan sementara itu merupakan tempat-tempat perhentian sementara pada jalan yang menuju ke tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, dan belajar bermain-main bersama teman-temannya. Umpamanya, kita melatih anak belajar berbicara agar anak dapat berbicara dengan baik dan benar. Dalam hal ini tujuan kita telah tercapai (tujuan sementara), yaitu anak dapat berbicara. Tetapi, tidak hanya sampai di situ tujuan kita. Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan baik dan sopan santun terhadap sesama manusia, berbicara dengan struktur tata kalimat yang benar, agar ia berbuat susila (tujuan tak lengkap), dan seterusnya. Demikian pula melatih anak untuk belajar kebersihan, belajar berbelanja, dan sebagainya adalah tujuan sementara. Tujuan sementara ini merupakan tingkatan-tingkatan untuk menuju kepada tujuan umum. Untuk mencapai tujuan-tujuan sementara itu di dalam praktek harus mengingat dan memperhatikan jalannya perkembangan pada anak. Untuk itu maka perlulah psikologi perkembangan.

     d) Tujuan-Tujuan Perantara
         Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Umpamanya, tujuan sementara ialah si anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak belajar membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam kemungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti metode mengajar dan metode membaca. Contoh lain, tujuan tak sempurna ialah membentuk pengetahuan akan hak-hak pribadi: sebagai tujuan sementaranya dapat ditentukan pada suatu umur yang tertentu si anak belajar membeda-bedakan “kepunyaanku” dan “kepunyaanmu”. Dengan memperhatikan tujuan sementara itu si anak kita beri permainannya dengan alat tertentu dan cara bermain tertentu (tujuan perantara). Jika anak telah menguasai teknik permainan dan cara menggunakan alat dan dapat memainkannya, maka tujuan perantara ini tercapai.

      e) Tujuan Insidental
          Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat yang terlepas pada jalan menuju kepada tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil anaknya supaya masuk ke dalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, atau untuk makan bersama-sama; ayah itu mengharap supaya perintahnya itu ditaati. Tetapi, dalam situasi yang lain mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan itu dan hanya bersikap netral saja. Contoh lainnya adalah jika anak pulang sekolah langsung tanpa memberi salam melempar tas sekolah dan sepatunya di sembarang tempat, orang tua atau kakaknya agar mengulang dari depan pintu memberi salam, menaruh tas dan sepatunya pada tempatnya, atau minimal orang tua atau kakaknya menasehati agar lain kali memberi salam ketika mau masuk rumah dan menempatkan tas dan sepatunya pada tempat yang telah tersedia.
     Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam tiap-tiap situasi ada tujuan-tujuan terpisah yang kita laksanakan, meskipun tujuan-tujuan itu masih ada hubungannya dengan tujuan umum. Tetapi, jika yang dimaksud oleh si ayah tadi ialah agar anaknya mempunyai kebiasaan-kebiasaan tetap untuk makan bersama-sama keluarga sehingga dengan demikian bermaksud pula untuk memperkuat rasa sama-sama terikat dalam ikatan keluarga, maka hal itu dapatlah dipandang sebagai tujuan perantara. Macam-macam “tujuan” tersebut di atas (tujuan tak sempurna, tujuan sementara, tujuan perantara, dan tujuan insidental) dapat dicapai dengan nyata. Adapun bagaimana menetapkan tujuan-tujuan itu dan bagaimana cara melaksanakannya adalah tugas pedagogik praktis. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas dan hubungan-hubungannya satu sama lain, mempermudah usaha kita hendak mengerti pekerjaan mendidik dan memungkinkan kita meninjau apa yang dianjurkan oleh aliran-aliran modern atau aliran-aliran kuno dalam pendidikan. Sedangkan tujuan umum itu bermuara dalam pandangan hidup yang mendukung sebagai batu dasarnya.
  • Beberapa Pendapat tentang Tujuan Pendidikan
    Dalam pasal-pasal yang lalu telah dikatakan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup. Juga telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh “pandangan hidup” manusia. Karena “pandangan hidup” manusia itu berlain-lainan, berbeda-beda pula apa yang hendak dicapai dengan pendidikan itu. Jadi, titik berat yang hendak dituju, berbeda-beda pula seperti : Ada ahli didik yang lebih menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama (lihat : tujuan tak lengkap). Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya. Anak dididik bukan untuk hidup di dunia ini dan sekarang, melainkan dengan pendidikan itu mereka hendak mempersiapkan anak untuk hidup di akhirat nanti. Seperti di Eropa dalam Abad Pertengahan, dan juga di negara-negara Asia pada zaman dahulu, India kuno, Mesir kuno, dan lain-lain, kebanyakan orang masih berpendirian demikian. Sebaliknya, banyak pula orang yang lebih mengutamakan keduniawian dan bukan keakhiratan dalam pendidikannya. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup hidup di dunia ini, yang penuh dengan rintangan dan kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. J.J. Rousseau, umpamanya, lebih mementingkan pendidikan individual daripada pendidikan kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa manusia itu ketika dilahirkan adalah baik, suci, dan kebanyakan anak itu menjadi rusak karena manusia itu sendiri atau karena masyarakat. Oleh karena itulah, Rousseau dalam pendidikannya menganjurkan agar anak-anak dididik sesuai dengan alamnya. Alam anak-anak itu baik; semua pembawaan anak itu adalah pembawaan yang baik. 
    Maka dari itu, kembangkanlah pembawaan-pembawaan anak itu menurut alamnya. Rousseau adalah penganjur pendidikan menurut alam, sehingga hukuman dalam pendidikan pun ia menganjurkan “hukuman alam”. Alamlah yang akan mendidiknya. Jika anak ingin tahu rasa panasnya api, biar anak merasakannya. Jika anak ingin menghayati keindahan alam, biarkan mereka mengamati alam di sekelilingnya. Jika anak ingin tahu rasa sakit hati, biarkan dia diejek temantemannya ketika ia mengganggu teman lain yang sedang bermain. Terhadap pendirian Rousseau yang demikian kita tidak akan begitu saja menerima. Bagaimana si anak itu dapat memilih mana yang baik dan yang buruk tentang norma-norma kesusilaan jika anak itu tidak dibantu atau dipimpin oleh orang dewasa; kalau anak itu hanya diserahkan begitu saja pada pertumbuhan sewajarnya menurut alam. John Dewey, seorang ahli filsafat*) dan ahli didik bangsa Amerika, berpendapat bahwa pendidikan kemasyarakatanlah yang lebih penting daripada pendidikan individual. Tujuan pendidikan menurut Dewey ialah membentuk *) Filsafat Dewey adalah “pragmatisme”, yaitu suatu aliran dalam filsafat yang mementingkan guna atau faedah segala sesuatu dianggap baik atau buruk ditinjau dari segi faedah atau kegunaannya di dalam dan bagi masyarakat. manusia untuk menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, di sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Anak harus dididik untuk menjadi orang yang dapat menurut pimpinan dan dapat memberikan pimpinan atau menjadi seorang yang ahli dalam suatu teknik, perindustrian, dan lain-lain. Pendeknya, pendidikan hendaklah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakat. Teranglah bahwa ia lebih menguramakan masyarakatnya daripada anak itu sendiri sebagai individu. Tentu saja pandangan ini pun berat sebelah. Kemungkinan akan menimbulkan bahaya kolektivisme, yaitu suatu pendapat yang tidak menghargai “penentuan diri sendiri atas tanggung jawab sendiri” pada seseorang, yang berarti pula individualitas dikesampingkan.
    Maka kesimpulannya ialah : pendidikan itu harus dapat maju bersama-sama. Pendidikan individual jangan diabaikan, jadi pendidikan harus berdasarkan kepada pribadi, kepada individualitas anak. Pendidikan kemasyarakatanpun harus tertanam dengan baik pada anak-anak sebab manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi juga sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh adanya larangan-larangan, peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Untuk mengakhiri bahasan ini, perlu di sini kita singgung, sebagaimana pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, terutama pendidikan bagi anakanak
kita, Indonesia. Sebagai pendiri, bapak, dan pemimpin Perguruan Taman Siswa, pendapat dan pandangannya tentang pendidikan dapat dilihat pada : Asas-Asas Taman Siswa yang antara lain sebagai berikut.
  1. Hak seorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikingsrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum (maastchappelijke saamhoorigheid), ialah pertama.
  2. Tertib dan damai (tata dan tentrem, orde en vrede), itulah tujuan yang setinggi-tingginya. Tidak ada ketertiban kalau tak berdasarkan perdamaian. Sebaliknya, tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.
  3. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei), itulah yang perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie), dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu, pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukum-ketertiban” (regeering, tucht en orde) dianggapnya memperkosa hidup kebatinan anak. Yang dipakainya sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang dinamakannya “Among-methode”.
     Dalam sistem ini maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu ialah yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (sociaal belang). Atau lebih jelas lagi dapat kita katakan sebagai berikut :
  1. Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah menuju ke “tertib damai” yang harus dicapai dengan mengingati hak-diri dan mengutamakan keperluan umum, mengganti alat “perintah dan paksaan” dengan usaha memajukan “bertumbuh sendiri” dengan selalu mementingkan kodrat-iradatnya alam: itulah yang dinamakan “Among-system” atau cara “tut wuri handayani”.
  2. Pengajaran harus memberikan pengetahuan yang perlu dan berguna untuk kemerdekaan hidup lahir dan batin di dalam masyarakat, dan membiasakan murid untuk dapat mencari sendiri segala ilmu itu dan mempergunakannya untuk amal keperluan umum.
  3. Pendidikan Taman Siswa bermaksud memaksakan keadaban murid (kultural) dengan dasar kemanusiaan dan aliran kebangsaan.
    Cita-cita pendidikan Taman Siswa ialah membangun orang yang berpikir merdeka, bertenaga merdeka, yaitu manusia yang merdeka lahir dan batin. Nyatalah dari uraian di atas bahwa yang menjadi dasar untuk segala usaha Taman Siswa itu ialah apa yang disebut “Pancadarma Taman Siswa”, yang berisikan lima syarat mutlak, yaitu : (1) dasar kodrat alam, (2) dasar kebudayaan, (3) dasar kemerdekaan, (4) dasar kebangsaan, dan (5) dasar kemanusiaan. Pendidikan dalam Taman Siswa berlaku menurut “sistem Among”, yaitu sistem yang mengemukakan dua dasar :
  1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri).
  2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dengan sebaik-baiknya.
   Dilihat dari asas dan dasarnya, ternyata pendidikan Taman Siswa adalah harmonis (selaras): tidak mementingkan salah satu segi pendidikan saja. Di dalamnya terdapat keselarasan antara pendidikan jasmani dan pendidikan rohani. Tidak hanya mengutamakan pendidikan individual (seperti pendapat Rousseau), tetapi juga pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan Taman Siswa tidak hanya mementingkan perkembangan anak sebagai individu, tetapi juga gunanya ilmu itu bagi keperluan umum, yaitu bagi masyarakat. Pendidikan Taman Siswa tidak hendak mementingkan intelektual atau pengetahuan saja (intelektualisme), tetapi
juga segi pendidikan yang lain, seperti kesusilaan, kesenian, keindahan, dan kebudayaan mendapat tempat yang sewajarnya. Sesudah membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan tujuan pendidikan pada umumnya, sampailah saatnya sekarang kita mempelajari tujuan pendidikan dan pengajaran di negara kita, Indonesia, seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1954. Hal ini akan dibicarakan tersendiri dalam bab berikut.
  • Tujuan Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia
    Setelah kita membicarakan berbagai hal mengenai tujuan pendidikan pada umumnya, makin terang bagi kita bahwa setiap tujuan dalam pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan tempat manusia itu hidup. Dalam pasal yang lalu diuraikan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sekarang ini jauh berbeda dengan tujuan pendidikan pada zaman penjajahan. Sebab, tiap-tiap tujuan pendidikan di suatu negara mau tidak mau ditentukan pula oleh corak pemerintahan dan bentuk negaranya. Apa yang dituju dengan pendidikan di negara yang dikuasai atau diperintah oleh satu orang ataupun oleh golongan minoritas, berbeda dengan di negara yang dikuasai oleh mayoritas. Tujuan pendidikan di negara diktator berbeda dengan di negara demokrsi. Tetapi, soal tersebut tidak dibicarakan di sini. Yang penting ialah marilah kita sekarang menyelami tujuan pendidikan dan pengajaran di negara kita sendiri, sebagai pegangan dan sebagai dasar di dalam menunaikan tugas kita sebagai pendidik, pembina masyarakat dan bangsa. Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan dan pengajaran itu di dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, terutama pasal 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3 : Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jwab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 4 : Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam “Pancasila” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia.
Kalau kita meneliti apa yang tercantum pada pasal-pasal di atas, nyatalah apa yang menjadi tugas pendidik itu, yaitu :
  1. membentuk manusia susila,
  2. membentuk manusia susila yang cakap,
  3. membentuk warga negara yang demokratis,
  4. membentuk warga negara yang bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
    Marilah kita coba menelaah apa yang dimaksud dengan macam-macam tugas tersebut agar lebih jelas pengertian kita sehingga terhindar dari “ketidaktentuan” dalam mendidik, yang mungkin timbul jika kita tidak benar-benar mengetahui apa yang hendak kita tuju dengan pendidikan itu. Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pembangunan negara dan bangsa Indonesia, maka rumusan tentang tujuan pendidikan seperti tercantum dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 mengalami perubahan, meskipun inti atau esensinya adalah sama. Di dalam GBHN 1983 - 1988 tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut: Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Tujuan ini pada rumusan GBHN 1993 tidak mengalami perubahan. Manusia susila ialah manusia yang hidupnya selalu menuruti dan sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku. Kita katakan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku, sebab setiap zaman orang berubah-ubah pandangan tentang baik dan buruk (etika). Yang dahulu berlaku, mungkin sekarang sudah dianggap sebagai suatu hal yang bersifat feodal atau kolonial. Oleh sebab itu rumusan tentang pendidikan watak bagi anak-anak Indonesia perlu dirumuskan dengan jelas agar sekolah dan lembaga pendidikan dapat mencapainya dengan pedoman yang jelas.
     Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pengertian pendidikan ini tersurat tujuan pendidikan kita adalah mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sumber:
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM.

Senin, 30 Januari 2012

Filsafat dan Teori Pendidikan

PENDAHULUAN
     Pembahasan di Bab I ini lebih menekankan pada dasar filosofis dan teoritis ilmu pendidikan. Dalam hubungannya dengan aspek fundamental dalam ilmu pendidikan, maka dengan penyajian bahasan ini diharapkan para pembaca, mahasiswa, pendidik, dan pemerhati dunia pendidikan memahami secara benar dan baik bahwa pendidikan bukanlah merupakan persoalan teknis edukatif belaka, tetapi ada benang merah sebagai jiwa filosofis pendidikan dan teori pendidikan yang seharusnya merupakan fundamen/dasar dalam praktek pendidikan di lembagalembaga pendidikan. yaitu meliputi :
  1. Filsafat Pendidikan
  2. Tujuan pendidikan
  3. Beberapa konsep pendidikan
  4. Konsep pendidikan seumur hidup
Serba sekilas keempat hal tersebut dibahas pada paparan selanjutnya agar kita mendapatkan pemahaman tentang filsafat dan teori pendidikan.

A. PEMAHAMAN TENTANG FILSAFAT
    Sebelum membahas filsafat pendidikan nampaknya perlu memiliki pemahaman yang utuh dan benar tentang filsafat, baik sebagai ilmu maupun filsafat sebagai metode berpikir. Maksudnya agar diperoleh persepsi yang baik tentang filsafat pendidikan sehingga tidak tersesat di dalam hutan belantara ilmu pendidikan.
    Dalam hubungan itu, tampaknya anekdot berikut perlu dicermati : Dalam suatu ruang kuliah filsafat seorang profesor akan mengawali kuliahnya dengan menyampaikan mimik, gaya, pengucapan, dan pernyataannya sebagai berikut : “Saudara-saudara para mahasiswa, dalam satu semester ini Saudara akan berkenalan dengan seorang profesor melalui bahan kuliah ilmu filsafat yang pada saat mempelajari dan mengikutinya, Saudara akan mengalami kesulitan, mungkin. Itu suatu hal yang wajar, oleh sebab mempelajari filsafat dapat disamakan dengan mencari sesuatu yang amat sangat kecil yang warnanya sepekat ruang tempat berada atau hilangnya”. Pernyataan ini cukup memberikan gambaran kepada para mahasiswa bahwa untuk mempelajari filsafat tidak mudah, karena bahannya sangat abstrak dan umum hasil pemikiran atau spekulasi manusia. Pada suatu ketika mahasiswa tidak menemukan sesuai kehendaknya, yang dalam kasus ini bahan filsafat, maka dapat diberikan kemungkinan jawaban atau penyelesaian sebagai berikut :
  1.  Bahwa bahan filsafat memang sebenarnya ada, tetapi daya kemampuan berpikir manusia sangat terbatas, sehingga tidak mampu mengadakan koneksitas pemikiran
  2. Bahwa bahan filsafat tidak dapat dipahami karena kesalahan dalam cara bekerjanya pikiran mahasiswa, sehingga bahan ada tidak diketemukan.
  3. Bahwa kemungkinan bahannya tidak ada, karena memang hanya hasil spekulasi manusia, tetapi mahasiswa percaya bahwa bahan itu ada, sehingga dasarnya bukan pengertian tetapi kepercayaan. Paradoks bukan? Tetapi kenyataan memberikan bukti betapapun benar kenyataan tentang sesuatu bila tidak dilandaskan kepercayaan menjadi tidak benar.
  4. Kebalikan dari kenyataan di atas, bahwa bahannya tidak ada, tetapi mahasiswa percaya ada dan benar meskipun salah, dan memang tidak ada.
     Satu semester berjalan sudah, dan pada akhir kuliah profesor menutup kuliahnya dengan pernyataan kurang lebih sebagai beirkut: “Enam bulan kita berbincang-bincang tentang ilmu filsafat dan aliran-alirannya, tetapi dengan segala kerendahan hati kami katakan, bahwa apabila kami ditanya manakah diantara yang baik dan benar, maka jawaban saya adalah semuanya baik dan semuanya jelek, justru masing-masing aliran dengan segala kebijakan dan kelemahannya, dan silahkan para mahasiswa memilihnya sendiri yang dianggap paling memenuhi selera masing-masing dan kalau perlu tidak usah memilih”.
     Pernyataan di atas berusaha menjelaskan betapa kuatnya hasrat profesor untuk melestarikan kebebasan mimbar, atau mungkin dia sudah linglung (absentminded), atau mungkin juga ia sudah masuk perangkap gejala patologis psikis “abulia” dmana seseorang sampai pada tidak dapat memilih atau menjatuhkan pilihan, dan mungkin juga ingin meyakinkan; bahwa bahan filsafat ada tidaknya dan berguna tidaknya tergantung pada manusianya. Karena pada akhirnya semuanya itu hanyalah hasil pemikiran manusia. Inilah salah satu bahaya mempelajari filsafat seperti yang dijelaskan pada pembahasan tentang masalah tersebut. Sebelum sampai kepada persoalan tersebut, marilah kita telaah pengertian konsep istilah filsafat dan metode berpikir filosofis. Pemahaman tentang fisafat ini, tampaknya pengertian/definisi berikut perlu dikritisi :
    E.S. Ames merumuskan filsafat sebagai a comprehensive view of life and its meaning, upon the basis of the result of the various sciences. Tersimpul dalam definisi di atas adalah pengertian philosophy is the mother of the sciences dan synoptic thinking atau metode berpikir sinoptis. J.A. Leighton mendefinisikan filsafat sebagai a world-view, or reasoned conception of the whole cosmos, and a life-view, or doctrine of the values, meanings, and purpose of human life. Dari definisi ini kita mendapat gambaran pengertian filsafat sebagai sistem atau sistematika filsafat yaitu metafisika, etika, dan logika yang artinya secara berturut adalah teori tentang kosmologi dan ontologi, teori tentang nilai moral dan ajaran berfikir filosofis, yaitu logika formal Aristoteles dan logika simbolis dari George-Boole dan kawan-kawannya.
    Dari definisi di atas filosof berspekulasi melalui metode sinopsis tentang radikalisme segala sesuatu, dunia, hidup dan dengan segala makhluk yang menghuninya. Theodore Brameld dalam bukunya menyatakan salah satu definisi filsafat adalah the discipline concerned with the formulation of precise meaning, di mana menimbulkan kemungkinan salah satu/suatu istilah yang sama diartikan berbeda dan sebaliknya.
Tentang nilai yang disebutkan sebagai ethos, maka definisi filsafat adalah the symbolic expression of culture. Sehingga arti sesuatu konsep tidak mungkin berdiri sendiri dan selalu dikaitkan dan berkaitan dengan latar belakang filsafat dan kebudayaannya. Tidak ubahnya orang komunis dengan pongahnya akan mengatakan, bahwa ia seorang demokrat sejati, padahal kitapun latah mengatakan demikian dan jangan lupa bangsa Eropa Barat berhak untuk mengatakan demikian itu. Istilah yang digunakan sama, tetapi jelas pengertiannya berbeda. Untuk menghindari fallacy of ambiguity di atas, maka sementara pengulas filsafat mencoba mengajukan perumusan analitis tentang pengertian konsep filsafat yang antara lain terdiri atas, sebagai berikut: Filsafat sebagai metode berpikir. Salah satu daya jiwa manusia yang paling dapat dipercaya dan yang telah menghasilkan ilmu filsafat adalah pikir dan pikiran, tetapi dikenal berbagai jenis dan tingkat pikir, seperti berpikir religius, berpikir historis, berpikir sosiologis, dan berpikir empiris positif serta berpikir filosofis, dan berpikir spekulatif teoritis.
    Berpikir filosofis terdiri atas berpikir sinoptis, berpikir spekulatif dan berpikir reflektif. Seperti telah disinggung pada pembahasan di muka, berpikir sinoptis adalah berpikir merangkum, yaitu penarikan kesimpulan umum dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam suatu postulat atau aksioma melalui proses abstraksi dan generalisasi. Dari ilmu fisika, biologi, dan psikologi kita dapat menarik dalil-dalil, bahwa tiap peristiwa tentu ada sebab yang menjadikannya, dan setiap tingkah laku makhluk apapun tentu berarah tujuan, hidup, dan kehidupan ini menurut suatu peraturan tertentu. Sistem galaksi kita dan siklus pertumbuhan segala makhluk menurut tertib yang pasti.
    Berpikir radikal sebagai variasi berpikir filsafat yang lain adalah berpikir mendalam sampai batas radix, akarnya. Akar apa? Akar kenyataan, dunia, hidup, dan akar manusia, sampai pada akar tata kehidupan pemerintahan dan negara.
    Berpikir reflektif sebagai variasi ketiga dari metode filsafat merupakan kebalikan dari yang sinoptis, di mana dari suatu kasus peristiwa individual diajukan berbagai macam teori dan asumsi atau spekulasi untuk bidang dan masalah kehidupan yang lain.
    Bom atom Hiroshima adalah suatu substansi seperti halnya badan manusia, setelah meledak berubah menjadi energi (energy) dan hilanglah sifat kebendaannya seperti kemampuan pikir dan berpikir manusia. Filosofi bertanya apabila demikian apa beda antara manusia, benda, energi dan gerakan? Apabila sama, maka dari benda kembali ke benda, sehingga tidak sesuatu yang bersifat transendental. Ini berarti bahwa apabila manusia telah terpenuhi kebutuhan materinya tercapailah tujuan dari hasrat hidupnya.
    Filsafat sebagai sifat terhadap dunia dan hidup. Berbagai macam sikap yang dikembangkan oleh manusia terhadap alam semesta ini. Hidup adalah pengabdian, atau perjuangan untuk kekuasaan, atau memperoleh kenikmatan, atau menyerahkan diri kepada Tuhan seperti orang-orang pemeluk agama atau pencinta menciptakan karya ilmiah atau teori ilmiah bahwa teori filsafat yang spekulatif dan universal, bahkan mungkin hidup sekedar menunda kematian, bahkan dunia ini dipandang sebagai medan permainan sandiwara dan seterusnya yang masih banyak lagi. Dalam menghadapi keragaman sikap terhadap hidup dan dunia di atas
seorang manusia yang matang sikap hidupnya, haruslah menghadapi secara kritis, sikap terbuka, tidak dogmatis aprioris, toleransi dan bersedia meninjau segala persoalan hidup dan kehidupan manusia dari segala segi. Apabila pada suatu ketika seseorang harus menghadapi krisis dalam kehidupannya, maka situasi krisis tersebut dihadapi secara tenang dan dapat menguasai diri, merenungkannya secara bijaksana dan tidak dikuasai oleh kehidupan persaannya.
    Filsafat sebagai suatu rumpun problema (hidup dan keajaiban alam semesta). Sesuai dengan metode fisafat sebagai berpikir radikal, maka dalam kehidupan manusia dari semenjak dulu dihadapkan kepada persoalan hidup yang mendasar seperti : Apa itu agama, filsafat, kebudayaan dan ilmu pengetahuan ? Apa itu kebenaran atau kenyataan? Apa itu kenyataan yang benar dan salah? Bagaimana hubungan antara yang benar dan yang baik? Apakah yang dimaksud dengan kebebasan, keadilan dan kebenaran dan bagaimana hubungan antara ketiganya dengan kekuasaan? Apakah kebenaran di atas kekuasaan atau sebaliknya. Atau
keadilan di atas kekuasaan ataukah kekuasaan di atas kebenaran? Apakah segala peristiwa di dunia ini berjalan secara kebetulan? Apa yang dimaksud dengan konsep mind, matter, energy, and motion? Bagaimana hubungan antara Tuhan, manusia, kelanggengan dan kebebasan moral (indeterminisme)? Dan seterusnya yang masih banyak lagi.
    Sejalan dengan filsafat sebagai metode berpikir, maka filsafat dalam pengertian sistem terdiri atas tiga aspek atau tiga segi di mana antara yang satu dengan yang lain berkaitan. Tiga aspek atau kategori metafisika yang menjawab masalah kosmologi dan ontologi; etika yang menjawab persoalan nilai norma tingkah-laku yang baik dan tidak, benar atau tidak, yaitu teori-teori nilai-nilai etis yang mendasari tingkah-laku manusia, dan kategori logika yang menjelaskan sumber, alat dan kriteria ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir logis rasional. Bagan skematis pada halaman khusus berikut ini akan menjelaskan gambaran filsafat sebagai sistem di mana kategori yang satu tidak bertentangan dengan yang lain. Variasi komposisi teori tentang kategori-kategori sistematika filsafat di atas, menyebabkan timbulnya bermacam-macam aliran filsafat seperti idealisme, rasionalisme, realisme, empirisme, pragmatisme, materialisme, dan eksistensialisme. Masing-masing aliran di atas masih dapat dipecah menjadi tipetipe yang lebih banyak.
    Perlu diketahui, salah satu nilai manfaat mempelajari filsafat adalah bahwa dengan mempelajari filsafat kita memperoleh sistem nilai yang akan menentukan tingkah-laku perbuatan kita. Pada saat dan setelah mempelajari sistem-sistem filsafat kita akan dihadapkan kepada kenyataan terdapatnya sistem nilai ganda,
artinya dikembangkan baik penegak hukum (law-abiding citizen) maupun pelanggar hukum (law-breaking citizen), yaitu yang antara lain seperti kerja keras, sabar, keberanian, ketabahan, dan kesetiaan. Ini berarti, bahwa baik seseorang itu sebagai pejuang atau pengacau apabila ingin perjuangannya atau pengacauannya berhasil, maka haruslah mengembangkan nilai-nilai tersebut di atas. Dengan kata lain perbedaan antara kedua jenis manusia di atas tidak terletak pada tingkahlakunya, tetapi ditentukan oleh kenyataan lain umpamanya perbedaan sudut tinjauannya.
    Sebagai bahaya kedua ialah bahwa deviasi filosofis memberikan akibat fatal dalam kenyataan tingkah-laku manusia, kenyatan hidup dan penghidupannya, baik secara/sebagai individu atau warganegara. Dengan kata lain suatu deviasi filosofis yang tampaknya tidak signifikan, tetapi menyangkut masalah yang esensial dan fundamental, dengan sendirinya menyebabkan phenomena yang jauh berbeda. Bagi seorang idealisme yang absolut seperti Hegel, martabat manusia hanya terealisir apabila manusia meluluhkan diri pada sang absolut, yang transendental, sedang max (Marx) berpandangan bahwa manusia akan mencapai dan dapat bergelar manusia selama mereka meluluhkan diri ke dalam organisme negara yang absolut dan materialistis. Tetapi Dewey menentang segala macam bentuk dominasi apapun, di mana ia berkeyakinan bahwa manusia pada dasarnya adalah bernilai absolut, artinya sangat menjunjung martabat individu. Ketiga pola pemikiran di atas pada dasarnya adalah sama dalam menekankan konsep kemutlakan, tetapi berbeda dalam menempatkan atribut tersebut, apakah pada sang absolut negara totaliter dan individualitas manusia.
   Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang eksistensialisme, prinsip dialektika Hegel antara eksistensi non eksisten disintesiskan pada has to be (becoming), sedang Dewey mensintesiskan antara alat dan tujuan ke dalam sifat kontinyu, dimana alat untuk tercapainya suatu tujuan, dan tujuan akan menjadi alat apabila tujuan yang terdahulu telah dicapai. Pada Dewey, dunia dan manusia dibiarkan tanpa tujuan (non teleologis), sedang Hegel mengemukakan bahwa perkembangan dunia dan sejarah selalu terarah ke tujuan yang pasti (teleologis). Bahaya ketiga dari mempelajari filsafat ialah bahwa dengan selesainya mata kuliah filsafat, manusia merasa telah memiliki “jiwa” ilmu filsafat, telah mampu“berpikir filosofis”, bahkan mengangkat dirinya sebagai filosof. Sebaliknya dapat terjadi bahwa seseorang yang telah demikian mendalami bahan materi ilmu filsafat telah demikian jenuh dengan pemikiran filsafat dengan segala macam aliran, menyebabkan ia tidak tahu, tidak memahami teori filsafat. Oleh sebab semakin manusia ahli teori etika tambah tidak etis secara filosofis. Manusia demikian ini telah masuk perangkap sikap “abulia” atau suatu peristiwa dimana seseorang tidak dapat mengambil keputusan pilihan. Ia ahli ilmu filsafat tetapi bukan filosof, dia alim tetapi tidak soleh, atau juga mungkin filsafatnya aliran tidak berfilsafat. Banyak nilai kegunaan yang dapat kita peroleh dengan mempelajari filsafat,tetapi untuk memudahkan pengertiannya akan kami kemukakan beberapa saja,seperti terbaca di bawah ini, yaitu:
  1. Meskipun kita harus menghindari timbulnya pandangan, bahwa pengertian sudah menjamin perbuatan, namun pengertian serba sedikit tentang filsafat dapat digunakan sebagai pedoman dalam kenyataan hidup sehari-hari, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
  2. Betapapun kaburnya dan kesimpangsiuran pengertian kebebasan dan individualitas manusia, tetapi bilamana saja kita telah memiliki filsafat hidup, pandangan hidup yang mantap yang akan menentukan kriteria baik-buruknya tingkah laku kita.
  3. Atas dasar keputusan batin kita sendiri, manusia memiliki kebebasan dan kepribadian sendiri.
  4. Bahwa dalam keadaan masyarakat yang serba tidak pasti selalu mengalami perubahan yang cepat dan dialami individu atau akibatnya mengalami krisis batin, meskipun bervariasi tingkatannya dengan telah memiliki pengertian tentang filsafat hidup dapat kiranya dikurangi dan dihindari gejala negatif hidup dan penghidupan, sehingga lebih terarah dan mantap.
  5. Bahwa tingkah-laku manusia tentu bertujuan dan ini pada dasarnya ditentukan oleh filsafat hidupnya, maka dari itu manusia harus memiliki filsafat agar tingkah-lakunya lebih bernilai.

B. FILSAFAT PENDIDIKAN
  • Ilmu Pendidikan Sebagai Ilmu Pengetahuan Normatif
     Postulat di atas memberikan gambaran kepada kita bagaimana hubungan antara agama, filsafat dan kebudayaan yang pada suatu ketika dapat dijadikan dan ataumendasari pertimbangan-pertimbangan dalam merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan yang secara umum merupakan pokok-pokok masalah dalam ilmu filsafat pendidikan.
     Pengertian kata-kata yang tersimpul dalam rumusan postulat di atas dan konsep-konsep istilah yang berhubungan dengan itu dapat dijelaskan dalam bentuk pokok-pokok pikiran beserta bagan skematis ilmu pendidikan sebagaimana dapat diikuti dan dibaca di bawah ini :
  1. Sebagai ilmu pengetahuan normatif, ilmu pendidikan merumuskan kaidahkaidah, norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan manusia. Atau ilmu pendidikan bertugas merumuskan peraturanperaturan tentang tingkah laku perbuatan makhluk yang bernama manusia dalam kehidupan dan penghidupannya.
  2. Sebagai ilmu pengetahuan praktis tugas pendidikan dan atau pendidik maupun guru ialah menanamkan sistem-sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat.
  3. Sesuai dengan kenyataan di atas, ilmu pendidikan erat hubungannya dengan ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan normatif lainnya, yang dalam sejarah perkembangan merupakan bagian dari/yang tak terpisahkan dan baru pada abad modern ini memisahkan diri sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, disamping menyebabkan lahirnya cabang ilmu pengetahuan baru, yaitu filsafat pendidikan (1908).
  4. Ilmu pengetahuan yang dapat dimasukkan ke dalam ilmu pengetahuan normatif meliputi agama, filsafat dengan segala cabangnya, yaitu metafisika, etika, aestetika dan logika, way of life sosial masyarakat, kaidah fundamental negara maupun tradisi kepercayaan bangsa.
  5. Bahwa agama, filsafat dengan cabangnya serta istilah yang ekivalen lainnya menetukan dasar-dasar dan tujuan hidup yang akan menentukan dasar dan tujuan pendidikan manusia, dan selanjutnya akan menentukan tingkah laku perbuatan manusia dalam kehidupan dan penghidupannya.
  6. Bahwa dalam perumusan tujuan-tujuan eltimit dan proksimit pendidikan akan ditetapkan hakekat dan sifat hakekat manusia dan segi-segi pendidikan yang akan dibina dan dikembangkan melalui proses pendidikan sebagaimana yang tercantum atau dirumuskan dalam sistem pendidikan atau science of education.
  7. Bahwa sistem pendidikan dan science of education bertugas merumuskan alatalat, prasarana, pelaksanaan, teknik-teknik dan atau pola-pola proses pendidikan dan pengajaran dengan mana akan dicapai dan dibina tujuan-tujuan pendidikan, dan ini meliputi problematika kepemimpinan dan metode pendidikan, politik pendidikan sampai kepada seni mendidik (the art of education).
  8. Isi moral pendidikan atau tujuan intermediat adalah berisi perumusan norma-norma atau nilai spiritual etis yang akan dijadikan sistem nilai pendidikan dan atau merupakan konsepsi dasar nilai moral pendidikan yang berlaku di segala jenis dan tingkat pendidikan.
  9. Bahwa wajar setiap manusia memiliki filsafat hidup atau kaidah-kaidah berpikir dan pikiran tentang kehidupan dan penghidupannya, maka suatu keharusan agar setiap pendidik dan guru memiliki dan membina filsafat pendidikan menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas pendidikan dan pengajarannya, baik di dalam dan di luar lembaga pendidikan formal sekolah, yaitu di dalam masyarakat. Untuk memahami ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif, berikut disajikan bagan yang dapat memberikan gambaran secara umum pembagian ilmu pendidikan dengan berbagai bidang yang dicakupnya. Bagan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa cakupan ilmu pendidikan secara teoritis dan praktis, yang di dalam ciri praktisnya ilmu pendidikan sebagai ilmu normatif. 
  10. Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi bertugas merumuskan secara normatif dasar-dasar dan tujuan pendidikan; hakikat dan sifat hakikat manusia hakikat dan segi-segi pendidikan; isi moral pendidikan; sistem pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinan pendidikan dan metodologi pengajarannya, pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat.
  • Hubungan Filsafat dan Filsafat Pendidikan
     Argumentasi-argumentasi dalam bentuk pokok-pokok pikiran-pikiran berikut ini akan memberikan kepada kita “pengertian dan dasar alasan” mengapa ilmu filsafat pendidikan harus dipelajari oleh setiap guru atau pendidik. Pokok-pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa setiap manusia individu harus bertindak, termasuk bertindak dalam pendidikan, secara sadar dan terarah tujuan yang pasti serta atas keputusan batinnya sendiri.
  2. Demikian pula setiap individu harus bertanggungjawab, termasuk tanggungjawab dalam pendidikan, yang tinggi rendahnya nilai mutu tanggungjawab tersebut akan banyak ditentukan oleh sistem dasar nilai norma yang melandasinya.
  3. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia yang hidup tentu memiliki filsafat hidup, demikian pula manusia yang hidup dalam dunia pendidikan harus memiliki filsafat pendidikan yang merupakan “ guidepost”, tonggak papan penunjuk jalan sumber dasar, tujuan tindakan dan tanggungjawabnya dalam pendidikan.
  4. Suatu kenyataan bahwa terdapat keragaman aliran-aliran pendidikan terhadap mana individu pendidik harus menentukan pilihannya secara bebas, terbuka, kritis dengan meninjaunya dari segala segi baik positif dan negatifnya.
  5. Pada suatu ketika individu pendidik telah menentukan pilihannya, maka ia tidak netral lagi dan menyakininya dan mengamalkan aliran filsafat pendidikannya secara penuh rasa tanggungjawab.

C. PENDEKATAN-PENDEKATAN FILSAFAT PENDIDIKAN
     Filsafat pendidikan sebagai filsafat terapan, yaitu studi tentang penerapan asas-asas pemikiran filsafat pada masalah-masalah pendidikan pada dasarnya mengenal dua pendekatan yang polaritis, yaitu :
  1. pendekatan tradisional,
  2. pendekatan progresif.
     Pengertian masing-masing pendekatan dan variasi pendekatan daripadanya dan aliran-aliran filsafat pendidikan dihasilkannya akan dijelaskan di bawah ini:
  • Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional dalam filsafat pendidikan melandaskan diri pada asas-asas sebagai berikut:
  1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah filsafat, sehingga untuk mempelajari filsafat pendidikan haruslah memiliki pengetahuan dasar tentang filsafat.
  2. Bahwa kenyataan yang esensial baik dan benar adalah kenyataan yang tetap, kekal dan abadi.
  3. Bahwa nilai norma yang benar adalah nilai yang absolut, universal dan obyektif.
  4. Bahwa tujuan yang baik dan benar menenukan alat dan sarana, artinya tujuan yang baik harus dicapai dengan alat sarana yang baik pula.
  5. Bahwa faktor pengembang sejarah atau sosial (science, technology, democracy dan industry) adalah sarana alat untuk prosperity of life dan bukannya untuk welfare of life sebagai tujuan hidup dan pendidikan sebagaimana yang ditentukan oleh filsafat.
  • Pendekatan Progresif
Sebagai penghujung yang lain dari pendekatan di atas dan dari kontinuitas aliran filsafat pendidikan adalah pendekatan progresif kontemporer dengan dasar-dasar pemikiran sebagai berikut:
  1. Bahwa dasar-dasar pendidikan adalah sosiologi, atau filsafat sosial humanisme ilmiah, yang skeptis terhadap kenyataan yang bersifat metafisis transendental.
  2. Bahwa kenyataan adalah perubahan, artinya kenyataan hidup yang esensial adalah kenyataan yang selalu berubah dan berkembang.
  3. Bahwa truth is man-made, artinya kebenaran dan kebajikan itu adalah kreasi manusia, dengan sifatnya yang relatif temporer bahkan subyektif.
  4. Bahwa tujuan dan dasar-dasar hidup dan pendidikan relatif ditentukan oleh perkembangan tenaga pengembang sosial dan manusia, yang merupakan sumber perkembangan sosial masyarakat.
  5. Bahwa antara tujuan dan alat adalah bersifat kontinu, bahwa tujuan dapat menjadi alat untuk tujuan yang lebih lanjut sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat.
      Dua pola dasar pendekatan di atas dapat dibagi menjadi bermacam-macam variasi yang antara lain seperti: religious philosophy of education, humanistic metaphysical philosophy of education, humanistic epistemological philosophy of education, cultural philosophy of education, social philosophy of education dan dari variasi kategorisasi pendekatan ini masih akan dipecah-pecah lagi ke dalam bermacam-macam aliran filsafat pendidikan, yang kualifikasinya dapat diikuti di bawah ini.

D. ALIRAN-ALIRAN DAN KRITERIA FILSAFAT PENDIDIKAN
     Berdasarkan atas dua pola dasar pendekatan dan variasi kelimanya, maka akan dicoba pengajuan suatu sistematika kategorisasi klasifikasi aliran filsafat pendidikan sebagai berikut, yaitu:
  1. Kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua kelompok yang tradisional meliputi aliran perennialis, assensialisme, idealisme dan realisme; dan kelompok progresif meliputi progresivisme, rekontruksionisme dan eksistensialisme.
  2. Kategori filsafat religius theistis meliputi segala macam aliran agama yang paling tidak terdiri atas empat besar agama di dunia ini, dengan segala variasi sekte-sekte agama masing-masing.
  3. Kategori filsafat pendidikan sosial politik. Kategori ini dalam sejarahnya dikenal bermacam aliran, yaitu humanisme, nasionalisme, liberalisme, sekulerisme, fasisme, dan sosialisme.
     Kategori klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan di atas adalah bersifat arbitrary dan tentatif, karena kami menyadari betapa sulitnya mengadakan klasifikasi dalam bidang atau cabang ilmu pengetahuan sosial dan kerohanian. Oleh sebab masing-masing aliran di atas saling tertindih (overlapping), sehingga perbedaan dan persamaan antara bermacam-macam aliran filsafat pendidikan di atas harus dipandang sebagai bersifat kontinu. Sebagai misal umpamanya Deweyisme dan Komunisme memiliki persamaan dan perbedaan antara keduanya, karena sama-sama mengakui dan merupakan adaptasi metode berpikir dialektika Hegel yang idealistis absolut.
     Demikian pula aliran eksistensialisme merupakan variasi dari aliran filsafat pendidikan tradisional dan filsafat progresif, oleh sebab secara epistemologi keduanya dapat dikategorikan pada aliran humanis yang ilmiah. Dalam bidang metafisika keduanya jauh berbeda yang satu skeptis sedangkan yang lain religius eksistensialis, dimana kemampuan berfikir dan pikir manusia dan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia hanyalah sebagian kecil dari mystery of nature, sehingga setiap penemuan baru tentu manusia dihadapkan pada marge di ujung sisi apa yang telah dikuasai manusia dan ujung sana mystery yang akan dikenai eksplorasi.
Pertama-tama harus diingat yang dimaksud dengan kriteria kualifikasi di sini tiada lebih merupakan kriteria memenuhi syarat, lengkap-tidaknya suatu aliran filsafat pendidikan tertentu, dan bukannya baik tidaknya benar tidaknya suatu aliran atau sistem filsafat pendidikan. Oleh sebab persoalan terakhir ini relatif ditentukan
oleh keputusan batin masing-masing guru, pendidik atau individu. Sesuai dengan kenyataan, bahwa filsafat pendidikan merupakan terapan ilmu filsafat terhadap problem pendidikan, dan sejalan dengan pembahasan tentang ilmu pendidikan sebagai ilmu pengetahuan normatif serta definisi filsafat pendidikan dalam pembahasan terdahulu, maka kriteria kualifikasi filsafat pendidikan, artinya memenuhi persyaratan secara lengkap, dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut
  • Menyelesaikan problem essensial filsafat pendidikan :
  1. merumuskan secara tegas sifat-hakikat pendidikan (the nature of education)
  2. merumuskan sifat-hakikat manusia, sebagai subjek dan objek pendidikan (the nature of man)
  3. merumuskan secara tegas hubungan antara agama, filsafat, dan kebudayaan
  4. merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan science of education (teori pendidikan)
  5. merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan
  6. merumuskan sistem nilai-norma, atau isi moral pendidikan (tujuan intermidiit)
  • Rincian problem essensial perlu dan harus dikemukakan, karena tidak semua aliran filsafat pendidikan sebagai sistem filsafat terapan, tidak selamanya dan mungkin diajukan. Tiada jarang individu, guru, pendidik, yang mempelajari filsafat pendidikan harus melengkapi penyelesaian problem yang belum lengkap berdasarkan atas rumusan yang telah dirumuskan secara implisit. Dalam merumuskan sesuatu yang implisit dari yang eksplisit dapat terjadi selisih interpretasi.
  • Di samping menjawab problem essensial filsafat pendidikan, maka suatu aliran atau sistem yang memenuhi kualifikasi harus pula bersifat “terbuka”, untuk dikenai kritik evaluatif tentang segi kebaikan dan kelemahannya.
  • Sebagai kriteria yang ketiga adalah bahwa filsafat pendidikan harus masih menempatkan individu dengan freedom of choice-nya atau memberi kesempatan kepada individu untuk berpikir kritis dan reflektif, dan tidak berpikir secara dogmatis, atau tradisional.

E. MANFAAT FILSAFAT PENDIDIKAN
     Sesuai dengan dasar alasan mengapa kita mempelajari filsafat pendidikan dan dalam rangka memahami nilai manfaat mempelajari filsafat pendidikan, maka terlebih dahulu diajukan tiga asumsi dasar yang ada kaitannya dengan persoalan ini.
  1. Bahwa Unexamined life is not worthwhile living, hidup tanpa perenungan (apa arti hakekat hidup) adalah suatu kehidupan yang kurang bobot.
  2. Bahwa apabila pendidikan sebagai proses eksperimentasi, maka berbeda dengan eksperimentasi dalam ilmu eksakta fisika, eksperimentasi pendidikan (sosial) berhasil tidaknya tidak mudah atau tidak segera kita ketahui atau buktikan.
  3. Bahwa berbuat salah tetapi tahu atau sadar akan kesalahannya, lebih baik daripada berbuat baik tetapi tidak tahu letak kebaikannya.
      Apabila ketiga asumsi dasar di atas benar, dan memang tidak terlalu salah, maka dapat dikemukakan beberapa nilai manfaat yang mungkin dapat diperoleh dengan jalan mempelajari filsafat pendidikan, yang antara lain sebagai berikut :
  1. memberi kesempatan kepada kita membiasakan diri untuk mengadakan perenungan mendalam, atau berteori, betapapun kurang atau belum sempurnanya teori tersebut.
  2. membiasakan kita berpikir kritis dan reflektif terhadap problem-problem kehidupan dan penghidupan manusia.
  3. memberikan pengertian yang mendalam akan problem-problem essensial dan dasar-dasar pertimbangan mana yang harus kita gunakan dalam menyelesaikan problem pendidikan
  4. memberikan kesempatan pada pendidik/guru untuk meninjau kembalipandangan filsafat pendidikan yang selama ini diyakininya
  5. bahwa berdasar kenyataan keragaman aliran-aliran filsafat pendidikan dalam pengertian betapa banyaknya pandangan tentang dasar-dasar dan tujuan pendidikan, maka dituntut kepada setiap pendidik/guru untuk meninjau secara terbuka, bebas, kritis, reflektif terhadap segala macam perbedaan tersebut.

Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM