Selasa, 31 Januari 2012

Pendidikan dan Tujuan Pendidikan

PENDAHULUAN
       Pekerjaan mendidik bukanlah pekerjaan yang gampang. Kebanyakan awam berpandangan bahwa mendidik hanyalah pekerjaan meniru apa yang diamati dari orang tua atau guru kemudian ditiru. Hal ini menjadi benar jika pendidikan dilaksanakan tidak secara profesional. Perbedaan antara orang yang profesional dengan yang tidak profesional adalah bagi orang yang profesional mengetahui “mengapa” ia melaksanakan laku-laku mendidik yang dia jalankan dengan dasar-dasar teori yang telah mereka kuasai, sementara orang yang sekedar meniru apa yang dilakukan orang lain tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Untuk itu seorang pendidik harus menguasai teori-teori pendidikan dan ilmu pendidikan agar dapat melandasi kerjanya secara profesional. Bahasan berikut memberikan wawasan dasar tentang pendidikan, teori-teori pendidikan dan tujuan pendidikan. Dengan pemahaman terhadap ketiga hal itu diharapkan setiap orang yang bekerja dalam dunia pendidikan tidak sekedar melaksanakan tugas tanpa mengerti wawasan teoritis yang melandasinya.

A. PENGERTIAN DASAR
       Sebelum membahas aspek Tujuan Pendidikan tampaknya perlu dicermati pengertian-pengertian dasar agar pemahaman aspek ini menjadi utuh dan benar. Dalam hubungan ini dari segi semantik terlebih dahulu perlu kiranya diterangkan dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Paedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Paedagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan dari para paedagogos itu. Jadi, nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani Kuno sebagian besar diserahkan kepada paedagogos itu. Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin/memfasilitasi). Perkataan paedagogos yang mulanya berarti “rendah (pelayan, bujang), sekarang dipakai untuk pekerjaan yang mulia. Paedagoog (pendidik atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri.
     Dengan alur pemahaman semantik di atas, dapat kita katakan dengan singkat : mendidik ialah memimpin/memfasilitasi anak. Mudah benar rupanya kata-kata itu. Tetapi, sesungguhnya tidak semudah apa yang kita sangka. Ucapan tersebut mengandung banyak masalah yang dalam dan pelik. Mendidik adalah pengertian yang sangat umum yang meliputi semua tindakan mengenai gejala-gejala pendidikan. Belumlah tepat kiranya kita menjawab pertanyaan tersebut di atas dengan singkat sebelum kita mencoba menguraikan pada pembahasan berikut. Memang, kebanyakan orang masih menganggap enteng dan mudah terhadap hal mendidik itu. Kebanyakan orang tua mendidik anak-anaknya hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman praktisnya saja. Mereka banyak meniru perbuatan nenek moyangnya yang belum tentu benar dan baik. Mereka beranggapan bahwa kepandaian mendidik itu sudah dengan sendirinya akan dipunyai oleh setiap orangdari pergaulannya dengan anak-anak. Mereka percaya bahwa dalam setiap situasi, “intuitif” akan mendapat sikap dan yang tepat. Jadi mereka berkehendak bekerja secara “intuitif” belaka, tidak atau kurang maumempelajari dan menyelidiki hal mendidik secara ilmu pengetahuan, secara teoritis. Bukan berarti bahwa kita tidak menghargai pengalaman-pengalaman dalam praktek dan mementingkan teori belaka. Sekali-kali tidak! Menurut pandangan ini, mendidik berdasarkan hasil-hasil penyelidikan (teori) dan berdasarkan pengalamanpengalaman (praktek) lebih banyak dan baik hasilnya daripada hanya berdasarkan
pengalaman dan intuisi belaka.
     Seorang pendidik membimbing atau memimpin/memfasilitasi pertumbuhan anak, jasmani maupun rohaninya. Sama halnya tukang kebun, ia pun tidak memaksa pertumbuhan anak sekehendaknya. Ia tidak dapat membuat anak agar lekas berjalan atau berkata-kata jika memang belum waktunya. Demikian pula, ia tidak mencetak anak itu untuk menjadi dokter, insinyur, ahli negara, atau hal-hal yang memungkinkan tercapainya tujuan itu. Dalam pertumbuhannya, jasmani dan rohani, anak itu berkembang sendiri, dan perkembangannya itu menurut tempo dan iramanya sendiri pula yang tidak sama antara anak yang satu dan anak yang lain. Anak mempunyai pembawaan dan bakat sendiri-sendiri. Pendidik hanya dapat memimpin/memfasilitasi perkembangan anak itu dengan mempengaruhinya dari luar, seperti dengan memberi makan yang cukup sehat, memberi pakaian, menjaga supaya anak terhindar dari penyakit, menyediakan alat-alat dan memberi kesempatan untuk bermain, menasehati, melarang, menghukum, menyekolahkan, dan kalau perlu memindahkan anak itu ke
dalam lingkungan yang lebih menguntungkan. Nyatalah bahwa tiap-tiap tindakan pendidikan terhadap anak didiknya mengandung maksud tertentu, ada tujuan hendak dicapai. Untuk sementara, kita dapat mengatakan bahwa umumnya orang mendidik anaknya dengan maksud agar anaknya itu mempunyai bekal yang dapat dipergunakan dalam kehidupannya kelak, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Kita tidak dapat menyamakan begitu saja pekerjaan seorang pendidik dengan pekerjaan tukang kebun. Pertumbuhan seorang anak tidak dapat disamakan dengan pertumbuhan sebatang tanaman. Perkembangan anak atau manusia tidak hanya melulu biologis. Jika perkembangan anak dapat ditentukan hanya dengan hukumhukum biologis yang sudah tetap, seperti diuraikan di atas, maka lapangan pekerjaan kita para paedagoog, akan sangat terbatas. Pekerjaan kita akan sama benar dengan tukang kebun, yang menurut L. Gurlit akan terbatas pada “membiarkan tumbuh, memelihara, menjaga, dan menolong” makhluk muda itu.
       Pendirian para paedagoog naturalis memang demikian. Mereka pesimistis dalam tindakannya mendidik anak (akan diuaraikan lebih lanjut). Tetapi tugas pendidik tidak hanya “membiarkan tumbuh” pada anak didiknya. Pendidik hendaknya berusaha agar anak itu menjadi manusia yang lebih mulia. Anak atau manusia itu adalah makhluk yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut norma-norma kesusilaan; ia dapat memilih dan menempatkan apa-apa yang akan dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya. Jadi, teranglah bahwa perkembangan manusia tidak dapat disamakan begitu saja dengan perkembangan biologis melulu, seperti pada tumbuh-tumbuhan. Dalam hal ini, berhati-hatilah kita mengumpamakan pekerjaan mendidik itu dengan pekerjaan seorang tukang kebun.

B. ALASAN ANAK HARUS DIDIDIK
    Dari uraian pembahasan di atas, sudah jelas bagi kita bahwa pertumbuhan seorang anak tidak dapat disamakan secara mutlak dengan pertumbuhan sebatang tanaman. Oleh sebab itu, sekarang timbullah dalam diri kita pertanyaan-pertanyaan: Haruskah anak itu mendapat pendidikan? Bagaimana jadinya jika anak itu tidak didik? Siapa yang berkewajiban mendidik anak itu? Ke mana akan kita bawa anak itu dengan pendidikan kita? Alat-alat pendidikan manakah yang akan dipergunakan supaya pendidikan itu dapat mencapai tujuannya?
    Dalam dunia hewan sering terjadi gejala-gejala aneh yang kadang-kadang bertentangan dengan alam pikiran kita. Seekor anak kalajengking yang baru lahir, dengan secepat-cepatnya lari merangkak ke atas punggung induknya. Kalau tidak berlaku demikian, ia pasti disergap dan dimakan oleh induknya. Setelah anak kalajengking itu agak besar dan dapat mencapai makanannya sendiri, larilah ia sekencang-kencangnya melepaskan diri dari induknya yang pelahap itu. Laba-laba betina memakan ketika hampir masanya ia bertelur. Mungkin hal ini dilakukan untuk menjaga anak-anaknya nanti agar jangan dimakan oleh bapaknya yang pelahap itu. Jadi, untuk melindungi anaknya dari bahaya. Lain benar cara yang berlaku pada kalajengking dan pada laba-laba itu dengan cara yang berlaku pada burung dan binatang-binatang lain. Seekor burung betina yang sedang mengerami telur di sarangnya, jarang dan hampir tidak mau meninggalkan sarangnya itu sampai telurnya menetas. Jantanlah yang bersusah payah mencari makanan untuk induk yang mengeram itu. Jika telurnya sudah menetas, Kedua burung jantan dan betina itu mencari makanan untuk anak-anaknya yang masih lemah itu. Sesudah anak-anaknya agak besar dan cukup bulunya untuk belajar terbang, datanglah waktunya sekarang bagi kedua burung melatih anakanaknya terbang dari ranting satu ke ranting yang lain. Mula-mula dekat saja, lamakelamaan agak jauh; mula-mula rendah dan lama-lama agak tinggi, dan seterusnya, sehingga anak-anaknya itu pandai terbang dan mencari makanan sendiri seperti induknya. Sesudah itu, lepas dan terpisahlah burung-burung muda itu dari pengawasan dan perlindungan induknya.
    Demikian pula, seekor kucing yang beranak pada waktu anak-anaknya masih lemah, disusuinya anaknya itu, dibersihkan badannya dengan air ludahnya. Sebelum anaknya itu menjadi besar, anak-anaknya itu dilatih berbagai macam gerakan menerkam dan lari seperti kepandaian yang dimiliki oleh induknya. Pada saat tertentu anak-anaknya itu tidak boleh menyusu lagi. Setelah menjadi besar dan dapat mencari makanan sendiri, lepaslah anak-anak kucing itu dari induknya. Demikianlah contoh-contoh tersebut, kita mengerti bahwa binatang pun “mendidik” atau lebih tepat dikatakan melatih anak-anaknya. Binatang memelihara, melindungi, dan mengajar anak-anaknya sampai anak-anaknya itu dapat berdiri sendiri seperti induknya.
Samakah pendidikan yang dilakukan binatang-binatang itu dengan pendidikan yang dilakukan manusia? Terus terang, kita katakan tidak. Manusia mempunyai kelebihan dari binatang. Binatang “mendidik” anak-anaknya secara instingtif. Kepandaian “mendidik” yang ada pada binatang bukan karena dipelajari dari binatang lain, melainkan kepandaian yang sudah ada pada tiap-tiap jenis binatang dan sifatnya tetap, tidak berubah atau hampir tidak berubah. Juga kemampuan-kemampuan untuk belajar yang ada pada binatang-binatang muda itu adalah kemampuan-kemampuan yang sudah ada dalam pembawaan dan akan berkembang dengan sendirinya tanpa pengaruh dari luar. Belajar secara demikian dalam psikologi disebut sebagai instingtif. Hal yang demikian juga lebih dekat dikatakan pengajaran instingtif. Jadi, tindakan-tindakan yang kita lakukan terhadap hewan itu bukanlah pendidikan, melainkan “dresur”. Demikianlah, kita dapat mendresur anjing untuk keperluan berburu, kuda untuk menarik pedati atau delman, kerbau atau lembu untuk membajak, dan sebagainya. Pertama-tama, pada tindakan insting tidak terdapat pengertian tentang tujuan terakhir dari tindakan itu. Marilah kita mengambil dua contoh. Bayi yang baru lahir, yang menyusu, tidak tahu bahwa dengan begitu ia sedang mengambil makanan, apalagi mengetahui bahwa hal itu sangat perlu untuk kelangsungan hidupnya. Jadi disini tidak ada pandangan tentang apa yang akhirnya harus dicapai. Bayi tadi menurut terus pada nafsu. Begitu pula anjing jika mengejar binatang buruan karena menuruti kecenderungan bawaannya. Ia tidak dapat bertindak lain, ia didorong ke situ. Disinilah terlihat ciri yang kedua dari tindakan instink: tindakan itu dilakukan otomatis dan tidak bebas. Ciri yang pertama dari tindakan instinktif ialah tindakan itu dilakukan sekaligus dan tidak sesudah beberapa percobaan; tindakan itu tidak dipelajari dan tidak berdasarkan pengalaman Lain halnya dengan apa yang terdapat dalam situasi pendidikan yang sesungguhnya. Jika kita menyuruh anak mengerjakan sesuatu, tentulah kita menganggap bahwa anak tadi dapat mengerti diperintah kita. Pengertian mengenai apa yang diharapkan dilakukan olehnya merupakan syarat supaya ia dapat menurut perintah itu.
     Dari uraian di atas jelas bahwa dresur tidak dapat disamakan dengan pendidikan. Dengan kata lain, “pendidikan yang dilakukan terhadap binatang berlainan dengan pendidikan yang dilakukan terhadap manusia. Dalam beberapa hal memang ada persamaan. Persamaan itu umumnya terletak pada pertumbuhan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmaniah, sedangkan pada manusia haruslah diperhitungkan pula perkembangan psikisnya. Binatang adalah makhluk alam, yang tidak berkebudayaan. Manusia bilangan alam, tetapi juga termasuk bilangan kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang lebih tinggi daripada binatang; manusia adalah makhluk yang berbudi, berpikir; manusia adalah anggota dari persatuan, masyarakat. Dengan adanya budi dan pikiran itu, manusia dapat menimbang-nimbang, memilih mana yang akan dilakukan dan mana yang tidak. Ia dapat memilih dan menentukan dari berbagai kemungkinan yang akan dilakukannya. Ia lebih bebas dalam melakukannya, tetapi pertanggungjawabannya lebih besar pula. Sedangkan pada binatang tidak demikian. Perbuatan binatang terikat oleh alam, oleh instingnya; binatang tidak mengenal tanggung jawab. Karena perbuatan itulah, kehidupan manusia jauh lebih sulit daripada kehidupan binatang. Itu pula yang menyebabkan mengapa masa muda pada manusia itu lebih lama daripada masa muda yang dialami oleh binatang.

C. PERGAULAN DAN PENDIDIKAN
    Dari rumusan di atas nyatalah bahwa pendidikan yang sebenarnya berlaku dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pendidikan memang kita dapati pergaulan antara orang dewasa dan anak. Pergaulan antara orang dewasa dan orang dewasa tidak disebut pergaulan pendidikan (pergaulan pedagogis) sebab di dalam pergaulan itu orang dewasa menerima dan bertanggung jawab sendiri terhadap pengaruh yang terdapat dalam pergaulan itu. Yang ada adalah saling membelajarkan. Demikian pula, pergaulan antara anak-anak dan anak-anak tidak dapat pula dinamakan pergaulan pedagogis, walaupun kita sering melihat dalam pergaulan antar anak, seorang anak yang menguasai dituruti oleh anak-anak yang lain. Kekuasaan yang ada pada anak-anak terhadap teman-temannya tidak bersifat kekuasaan pendidikan karena kekuasaan itu tidak tertuju pada suatu tujuan pedagogis secara disadarinya dan tidak dilakukan dengan sengaja. Jadi, pergaulan pedagogis hanya terdapat antara orang dewasa dan anak (orang yang belum dewasa). Tetapi, kita harus ingat bahwa tidak tiap-tiap pergaulan antara orang dewasa dan anak bersifat pendidikan. Banyak pergaulan dan hubungan yang bersifat netral saja, tidak bersifat pedagogis, misalnya, orang tua menyuruh mengambil kaca mata bukan karena bermaksud mendidik, melainkan karena ia sendiri enggan mengambil. Misalnya lagi, seorang yang berpropaganda untuk menjual buku-bukunya yang bersifat cabul kepada anak-anak, tidak dapat dilakukan pergaulan pedagogis.
    Pergaulan itu disebut pergaulan pedagogis, jika orang dewasa atau si pendidik sadar akan kemampuannya sendiri dalam tindakannya terhadap anak yang “tidak mampu apa-apa” itu, tetapi disamping itu, ia masih ada percaya bahwa anak memiliki kemampuan unruk membantu dirinya sendiri. Lebih jelas lagi : dalam pergaulannya dengan anak-anak, orang dewasa menyadari bahwa tindakannya yang dilakukan terhadap anak itu mengandung maksud, ada tujuan untuk menolong anak yang masih perlu ditolong untuk membentuk dirinya sendiri. Dengan ciri kebelum-dewasaannya anak masih perlu memperoleh bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Sementara orang dewasa telah dapat berdiri dan belajar atas keputusan dirinya sendiri karena semua tindakan yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan sendiri.
    Mengapa mendidik itu dikatakan memimpin/memfasilitasi perkembangan anak, dan bukan membentuk anak? Memang, kata “memimpin/memfasilitasi” di sini tepat. Anak bukanlah seumpama segumpal tanah liat yang dapat diremas-remas dan dibentuk dijadikan sesuatu menurut kehendak si pendidik. Jika sekiranya betul demikian, sudah tentu kita dapat mengharapkan bahwa nanti manusia itu akan menjadi “baik” semua. Sebab menurut kenyataan hampir semua manusia diusahakan dididik, baik oleh orang tuanya maupun oleh masyarakat dan negara. Pendidikan disebut pimpinan karena dengan perkataan ini tersimpul arti bahwa si anak aktif sendiri, memperkembangkan diri, tumbuh sendiri; tetapi di dalam keaktifannya itu ia harus dibantu, dipimpin, dibimbing, dan difasilitasi. Dalam hal ini ada tiga teori yang melandasi pendidikan. 
  • Teori Tabularasa (John Locke dan Francis Bacon)
    Teori ini mengatakan bahwa anak yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi (a sheet of white paper avoid of all characters). Jadi, sejak lahir anak itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Anak dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini kekuatan ada pada pendidik. Pendidikan atau lingkungan berkuasa atas pembentukan anak. Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga empirisme, yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segala kecakapan dan pengetahuan manusia itu timbul dari pengalaman (empiri) yang masuk melalui alat indera.  
  • Teori Nativisme (Schopenhauer)
    Lawan dari empirisme ialah nativisme. Nativus (latin) berarti karena kelahiran. Aliran nativisme berpendapat bahwa tiap-tiap anak sejak dilahirkan sudah mempunyai berbagai pembawaan yang akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk. Pendidikan tidak perlu dan tidak berkuasa apa-apa. Aliran pendidikan yang menganut paham nativisme ini disebut aliran pesimisme. Sedangkan yang menganut empirisme dan teori tabularasa disebut aliran optimisme. Kedua teori tersebut ternyata berat sebelah. Kedua-duanya ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Maka dari itu, untuk mengambil kebenaran dari keduanya, William Stern, ahli ilmu jiwa bangsa Jerman, telah memadukan kedua teori itu menjadi satu teori yang disebut teori konvergensi. 
  • Teori Konvergensi (William Stern)
Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak ditentukan atau dipengaruhi oleh dua faktor: pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan. Namun pembawaan yang sifatnya potensial itu harus dikembangkan melalui pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan. Oleh sebab itu tugas pendidik adalah menghantarkan perkembangan semaksimal mungkin potensi anak sehingga kelak menjadi orang yang berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa, dan bangsanya.
    Apabila keluarga tidak mungkin lagi melaksanakan pendidikan seluruhnya (misalnya pendidikan kecerdasan, pengajaran, dan sebagian dari pendidikan sosial; perkumpulan anak-anak), di situlah negara, sesuai dengan tujuannya, harus membantu orang tua juga dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan badanbadan sosial lainnya. Demikian juga, negara berhak dan berkewajiban melindungi anak-anak, bila kekuatan orang tua - baik material maupun moral - tidak dapat mencukupi, misalnya, karena kurang mampu, tidak sanggup, atau lalai. Negara berhak memiliki sendiri apa yang perlu untuk pemerintahan dan untuk menjamin keamanan, juga untuk memimpin/memfasilitasi dan mendirikan sekolah-sekolah yang diperlukan untuk mendidik pegawai-pegawai dan tentaranya, asal pimpinan ini tidak mengurangi hak-hak orang tua.

D. TUJUAN PENDIDIKAN
Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Akan dibawa ke manakah sebenarnya anak didik itu? Soal ini adalah soal yang paling sulit dibicarakan dalam hal mendidik. Soal “tujuan pendidikan” merupakan soal yang prinsipil dalam pedagogik. Maka dari itu, sebelum kita membicarakan tujuan pendidikan yang khusus berlaku di negara kita dewasa ini (Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 12 tahun 1954, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), untuk sekadar menambah pengetahuan kita tentang pendidikan, marilah kita tinjau dahulu beberapa hal. Segala apa yang kita katakan tentang tujuan pendidikan ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup.
  • Tujuan dan Kepribadian Pendidik
    Dalam sajian di muka sudah dikatakan bahwa pendidikan ialah pimpinan orang dewasa terhadap anak dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Jadi, di sini terang bahwa tujuan umum pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang berarti bahwa ia harus dapat menentukan masa depan diri
sendiri dan bertanggung jawab sendiri. Anak harus dididik menjadi orang yang sanggup mengenal dan berbuat menurut kesusilaan. Orang dewasa adalah orang yang sudah mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagaman, kebenaran, dan sebagainya, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma itu serta bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan. Seorang pendidik tidak akan tahu kemana anak akan dibawanya (dididik) jika tidak mengetahui jalan hidupnya.
  • Macam-Macam Tujuan Pendidikan
    Di dalam bukunya Beknopte Theoretische Paedagogiiek, Langeveld mengutarakan macam-macam tujuan pendidikan sebagai berikut :
               a. Tujuan umum
               b. Tujuan-tujuan tak sempurna (tak lengkap),
               c. Tujuan-tujuan sementara,
               d. Tujuan-tujuan perantara, dan
               e. Tujuan insidental.

     a) Tujuan Umum
         Tujuan umum disebut juga tujuan sempurna, tujuan terakhir, atau tujuan bulat. Tujuan umum ialah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua atau pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu. Tujuan umum ini tidak akan dan tidak dapat selalu diingat oleh si pendidik dalam melaksanakan pendidikannya. Oleh karena itulah, tujuan umum itu selalu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus (dikhususkan) mengingat keadaan-keadaan dan faktor-faktor yang terdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya.

     b) Tujuan-Tujuan Tak Sempurna
         Yang dimaksud dengan tujuan tak sempurna atau tak lengkap ini ialah tujuan-tujuan mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup yang tertentu, seperti keindahan, kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan, seksual, kecerdasan, dan sosial. Oleh karena itu, kita dapat juga mengatakan, pendidikan keindahan, pendidikan kesusilaan, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan intelektual, dan lain-lain yang masing-masing dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang terkandung di dalam masing-masing seginya. Tujuan tak sempurna ini bergantung kepada tujuan umum dan tidak dapat terlepas dari tujuan umum itu. Memisahkan tujuan tak lengkap menjadi tujuan sendiri sehingga merupakan tujuan terakhir atau tujuan umum dan pendidikan menjadi berat sebelah, dan berarti tidak mengakui kepribadian manusia sebulat-bulatnya dan seutuh-utuhnya. Ingatlah pendidikan hendaklah harmonis, integral, dan seimbang.

     c) Tujuan-Tujuan Sementara
         Tujuan sementara itu merupakan tempat-tempat perhentian sementara pada jalan yang menuju ke tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, dan belajar bermain-main bersama teman-temannya. Umpamanya, kita melatih anak belajar berbicara agar anak dapat berbicara dengan baik dan benar. Dalam hal ini tujuan kita telah tercapai (tujuan sementara), yaitu anak dapat berbicara. Tetapi, tidak hanya sampai di situ tujuan kita. Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan baik dan sopan santun terhadap sesama manusia, berbicara dengan struktur tata kalimat yang benar, agar ia berbuat susila (tujuan tak lengkap), dan seterusnya. Demikian pula melatih anak untuk belajar kebersihan, belajar berbelanja, dan sebagainya adalah tujuan sementara. Tujuan sementara ini merupakan tingkatan-tingkatan untuk menuju kepada tujuan umum. Untuk mencapai tujuan-tujuan sementara itu di dalam praktek harus mengingat dan memperhatikan jalannya perkembangan pada anak. Untuk itu maka perlulah psikologi perkembangan.

     d) Tujuan-Tujuan Perantara
         Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Umpamanya, tujuan sementara ialah si anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak belajar membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam kemungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti metode mengajar dan metode membaca. Contoh lain, tujuan tak sempurna ialah membentuk pengetahuan akan hak-hak pribadi: sebagai tujuan sementaranya dapat ditentukan pada suatu umur yang tertentu si anak belajar membeda-bedakan “kepunyaanku” dan “kepunyaanmu”. Dengan memperhatikan tujuan sementara itu si anak kita beri permainannya dengan alat tertentu dan cara bermain tertentu (tujuan perantara). Jika anak telah menguasai teknik permainan dan cara menggunakan alat dan dapat memainkannya, maka tujuan perantara ini tercapai.

      e) Tujuan Insidental
          Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat yang terlepas pada jalan menuju kepada tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil anaknya supaya masuk ke dalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, atau untuk makan bersama-sama; ayah itu mengharap supaya perintahnya itu ditaati. Tetapi, dalam situasi yang lain mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan itu dan hanya bersikap netral saja. Contoh lainnya adalah jika anak pulang sekolah langsung tanpa memberi salam melempar tas sekolah dan sepatunya di sembarang tempat, orang tua atau kakaknya agar mengulang dari depan pintu memberi salam, menaruh tas dan sepatunya pada tempatnya, atau minimal orang tua atau kakaknya menasehati agar lain kali memberi salam ketika mau masuk rumah dan menempatkan tas dan sepatunya pada tempat yang telah tersedia.
     Kenyataan menunjukkan bahwa di dalam tiap-tiap situasi ada tujuan-tujuan terpisah yang kita laksanakan, meskipun tujuan-tujuan itu masih ada hubungannya dengan tujuan umum. Tetapi, jika yang dimaksud oleh si ayah tadi ialah agar anaknya mempunyai kebiasaan-kebiasaan tetap untuk makan bersama-sama keluarga sehingga dengan demikian bermaksud pula untuk memperkuat rasa sama-sama terikat dalam ikatan keluarga, maka hal itu dapatlah dipandang sebagai tujuan perantara. Macam-macam “tujuan” tersebut di atas (tujuan tak sempurna, tujuan sementara, tujuan perantara, dan tujuan insidental) dapat dicapai dengan nyata. Adapun bagaimana menetapkan tujuan-tujuan itu dan bagaimana cara melaksanakannya adalah tugas pedagogik praktis. Dengan memperhatikan tujuan-tujuan di atas dan hubungan-hubungannya satu sama lain, mempermudah usaha kita hendak mengerti pekerjaan mendidik dan memungkinkan kita meninjau apa yang dianjurkan oleh aliran-aliran modern atau aliran-aliran kuno dalam pendidikan. Sedangkan tujuan umum itu bermuara dalam pandangan hidup yang mendukung sebagai batu dasarnya.
  • Beberapa Pendapat tentang Tujuan Pendidikan
    Dalam pasal-pasal yang lalu telah dikatakan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup. Juga telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh “pandangan hidup” manusia. Karena “pandangan hidup” manusia itu berlain-lainan, berbeda-beda pula apa yang hendak dicapai dengan pendidikan itu. Jadi, titik berat yang hendak dituju, berbeda-beda pula seperti : Ada ahli didik yang lebih menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama (lihat : tujuan tak lengkap). Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya. Anak dididik bukan untuk hidup di dunia ini dan sekarang, melainkan dengan pendidikan itu mereka hendak mempersiapkan anak untuk hidup di akhirat nanti. Seperti di Eropa dalam Abad Pertengahan, dan juga di negara-negara Asia pada zaman dahulu, India kuno, Mesir kuno, dan lain-lain, kebanyakan orang masih berpendirian demikian. Sebaliknya, banyak pula orang yang lebih mengutamakan keduniawian dan bukan keakhiratan dalam pendidikannya. Mereka mendidik anak-anak untuk dapat dan sanggup hidup di dunia ini, yang penuh dengan rintangan dan kesukaran yang harus diatasinya, untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. J.J. Rousseau, umpamanya, lebih mementingkan pendidikan individual daripada pendidikan kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa manusia itu ketika dilahirkan adalah baik, suci, dan kebanyakan anak itu menjadi rusak karena manusia itu sendiri atau karena masyarakat. Oleh karena itulah, Rousseau dalam pendidikannya menganjurkan agar anak-anak dididik sesuai dengan alamnya. Alam anak-anak itu baik; semua pembawaan anak itu adalah pembawaan yang baik. 
    Maka dari itu, kembangkanlah pembawaan-pembawaan anak itu menurut alamnya. Rousseau adalah penganjur pendidikan menurut alam, sehingga hukuman dalam pendidikan pun ia menganjurkan “hukuman alam”. Alamlah yang akan mendidiknya. Jika anak ingin tahu rasa panasnya api, biar anak merasakannya. Jika anak ingin menghayati keindahan alam, biarkan mereka mengamati alam di sekelilingnya. Jika anak ingin tahu rasa sakit hati, biarkan dia diejek temantemannya ketika ia mengganggu teman lain yang sedang bermain. Terhadap pendirian Rousseau yang demikian kita tidak akan begitu saja menerima. Bagaimana si anak itu dapat memilih mana yang baik dan yang buruk tentang norma-norma kesusilaan jika anak itu tidak dibantu atau dipimpin oleh orang dewasa; kalau anak itu hanya diserahkan begitu saja pada pertumbuhan sewajarnya menurut alam. John Dewey, seorang ahli filsafat*) dan ahli didik bangsa Amerika, berpendapat bahwa pendidikan kemasyarakatanlah yang lebih penting daripada pendidikan individual. Tujuan pendidikan menurut Dewey ialah membentuk *) Filsafat Dewey adalah “pragmatisme”, yaitu suatu aliran dalam filsafat yang mementingkan guna atau faedah segala sesuatu dianggap baik atau buruk ditinjau dari segi faedah atau kegunaannya di dalam dan bagi masyarakat. manusia untuk menjadi warga negara yang baik. Untuk itu, di sekolah-sekolah diajarkan segala sesuatu kepada anak yang perlu bagi kehidupannya dalam masyarakat, sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Anak harus dididik untuk menjadi orang yang dapat menurut pimpinan dan dapat memberikan pimpinan atau menjadi seorang yang ahli dalam suatu teknik, perindustrian, dan lain-lain. Pendeknya, pendidikan hendaklah mempersiapkan anak untuk hidup di dalam masyarakat. Teranglah bahwa ia lebih menguramakan masyarakatnya daripada anak itu sendiri sebagai individu. Tentu saja pandangan ini pun berat sebelah. Kemungkinan akan menimbulkan bahaya kolektivisme, yaitu suatu pendapat yang tidak menghargai “penentuan diri sendiri atas tanggung jawab sendiri” pada seseorang, yang berarti pula individualitas dikesampingkan.
    Maka kesimpulannya ialah : pendidikan itu harus dapat maju bersama-sama. Pendidikan individual jangan diabaikan, jadi pendidikan harus berdasarkan kepada pribadi, kepada individualitas anak. Pendidikan kemasyarakatanpun harus tertanam dengan baik pada anak-anak sebab manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi juga sebagai anggota masyarakat yang terikat oleh adanya larangan-larangan, peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Untuk mengakhiri bahasan ini, perlu di sini kita singgung, sebagaimana pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, terutama pendidikan bagi anakanak
kita, Indonesia. Sebagai pendiri, bapak, dan pemimpin Perguruan Taman Siswa, pendapat dan pandangannya tentang pendidikan dapat dilihat pada : Asas-Asas Taman Siswa yang antara lain sebagai berikut.
  1. Hak seorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeschikingsrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum (maastchappelijke saamhoorigheid), ialah pertama.
  2. Tertib dan damai (tata dan tentrem, orde en vrede), itulah tujuan yang setinggi-tingginya. Tidak ada ketertiban kalau tak berdasarkan perdamaian. Sebaliknya, tak akan ada orang hidup damai, jika ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.
  3. Bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei), itulah yang perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie), dan harus dimerdekakan seluas-luasnya. Maka dari itu, pendidikan yang beralaskan syarat “paksaan-hukum-ketertiban” (regeering, tucht en orde) dianggapnya memperkosa hidup kebatinan anak. Yang dipakainya sebagai alat pendidikan ialah pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang dinamakannya “Among-methode”.
     Dalam sistem ini maka pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberikan pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya untuk amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu ialah yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama (sociaal belang). Atau lebih jelas lagi dapat kita katakan sebagai berikut :
  1. Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah menuju ke “tertib damai” yang harus dicapai dengan mengingati hak-diri dan mengutamakan keperluan umum, mengganti alat “perintah dan paksaan” dengan usaha memajukan “bertumbuh sendiri” dengan selalu mementingkan kodrat-iradatnya alam: itulah yang dinamakan “Among-system” atau cara “tut wuri handayani”.
  2. Pengajaran harus memberikan pengetahuan yang perlu dan berguna untuk kemerdekaan hidup lahir dan batin di dalam masyarakat, dan membiasakan murid untuk dapat mencari sendiri segala ilmu itu dan mempergunakannya untuk amal keperluan umum.
  3. Pendidikan Taman Siswa bermaksud memaksakan keadaban murid (kultural) dengan dasar kemanusiaan dan aliran kebangsaan.
    Cita-cita pendidikan Taman Siswa ialah membangun orang yang berpikir merdeka, bertenaga merdeka, yaitu manusia yang merdeka lahir dan batin. Nyatalah dari uraian di atas bahwa yang menjadi dasar untuk segala usaha Taman Siswa itu ialah apa yang disebut “Pancadarma Taman Siswa”, yang berisikan lima syarat mutlak, yaitu : (1) dasar kodrat alam, (2) dasar kebudayaan, (3) dasar kemerdekaan, (4) dasar kebangsaan, dan (5) dasar kemanusiaan. Pendidikan dalam Taman Siswa berlaku menurut “sistem Among”, yaitu sistem yang mengemukakan dua dasar :
  1. Kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga dapat hidup merdeka (berdiri sendiri).
  2. Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dengan sebaik-baiknya.
   Dilihat dari asas dan dasarnya, ternyata pendidikan Taman Siswa adalah harmonis (selaras): tidak mementingkan salah satu segi pendidikan saja. Di dalamnya terdapat keselarasan antara pendidikan jasmani dan pendidikan rohani. Tidak hanya mengutamakan pendidikan individual (seperti pendapat Rousseau), tetapi juga pendidikan kemasyarakatan. Pendidikan Taman Siswa tidak hanya mementingkan perkembangan anak sebagai individu, tetapi juga gunanya ilmu itu bagi keperluan umum, yaitu bagi masyarakat. Pendidikan Taman Siswa tidak hendak mementingkan intelektual atau pengetahuan saja (intelektualisme), tetapi
juga segi pendidikan yang lain, seperti kesusilaan, kesenian, keindahan, dan kebudayaan mendapat tempat yang sewajarnya. Sesudah membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan tujuan pendidikan pada umumnya, sampailah saatnya sekarang kita mempelajari tujuan pendidikan dan pengajaran di negara kita, Indonesia, seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 12 tahun 1954. Hal ini akan dibicarakan tersendiri dalam bab berikut.
  • Tujuan Pendidikan dan Pengajaran di Indonesia
    Setelah kita membicarakan berbagai hal mengenai tujuan pendidikan pada umumnya, makin terang bagi kita bahwa setiap tujuan dalam pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan tempat manusia itu hidup. Dalam pasal yang lalu diuraikan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia sekarang ini jauh berbeda dengan tujuan pendidikan pada zaman penjajahan. Sebab, tiap-tiap tujuan pendidikan di suatu negara mau tidak mau ditentukan pula oleh corak pemerintahan dan bentuk negaranya. Apa yang dituju dengan pendidikan di negara yang dikuasai atau diperintah oleh satu orang ataupun oleh golongan minoritas, berbeda dengan di negara yang dikuasai oleh mayoritas. Tujuan pendidikan di negara diktator berbeda dengan di negara demokrsi. Tetapi, soal tersebut tidak dibicarakan di sini. Yang penting ialah marilah kita sekarang menyelami tujuan pendidikan dan pengajaran di negara kita sendiri, sebagai pegangan dan sebagai dasar di dalam menunaikan tugas kita sebagai pendidik, pembina masyarakat dan bangsa. Pemerintah Indonesia telah menggariskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan dan pengajaran itu di dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954, terutama pasal 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 3 : Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jwab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 4 : Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas yang termaktub dalam “Pancasila” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia.
Kalau kita meneliti apa yang tercantum pada pasal-pasal di atas, nyatalah apa yang menjadi tugas pendidik itu, yaitu :
  1. membentuk manusia susila,
  2. membentuk manusia susila yang cakap,
  3. membentuk warga negara yang demokratis,
  4. membentuk warga negara yang bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
    Marilah kita coba menelaah apa yang dimaksud dengan macam-macam tugas tersebut agar lebih jelas pengertian kita sehingga terhindar dari “ketidaktentuan” dalam mendidik, yang mungkin timbul jika kita tidak benar-benar mengetahui apa yang hendak kita tuju dengan pendidikan itu. Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pembangunan negara dan bangsa Indonesia, maka rumusan tentang tujuan pendidikan seperti tercantum dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 mengalami perubahan, meskipun inti atau esensinya adalah sama. Di dalam GBHN 1983 - 1988 tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut: Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Tujuan ini pada rumusan GBHN 1993 tidak mengalami perubahan. Manusia susila ialah manusia yang hidupnya selalu menuruti dan sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku. Kita katakan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku, sebab setiap zaman orang berubah-ubah pandangan tentang baik dan buruk (etika). Yang dahulu berlaku, mungkin sekarang sudah dianggap sebagai suatu hal yang bersifat feodal atau kolonial. Oleh sebab itu rumusan tentang pendidikan watak bagi anak-anak Indonesia perlu dirumuskan dengan jelas agar sekolah dan lembaga pendidikan dapat mencapainya dengan pedoman yang jelas.
     Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pengertian pendidikan ini tersurat tujuan pendidikan kita adalah mengambangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Sumber:
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar