Selasa, 31 Januari 2012

Masalah Makro Pendidikan dan Pendidikan Moral

PENDAHULUAN
   Pada dekade yang lalu, kritik terhadap pendidikan formal terus berlanjut di seluruh dunia. Input sekolah tradisional, seperti latihan guru atau pengeluaran beaya per siswa, tidak terlalu memiliki pengaruh terhadap skor tes anak yang telah diantisipasi para pendidik. Lulusan dari semua level memiliki kesulitan yang berarti untuk mencari kerja yang mereka harapkan, di mana 15 tahun yang lalu para perencana memprediksikan defisit di sejumlah lulusan sekolah yang diperlukan untuk memenuhi pekerjaan yang diharapkan yang cenderung meluas pada tahun 1980an. Akhirnya persekolahan bebas tidak dapat mengatasi jurang pemisah antara kaya dan miskin seperti yang diharapkan para perencana. Masalah ini lebih serius di negara-negara berkembang, di mana sumber daya banyak dimanfaatkan untuk bertahan hidupnya mayoritas miskin, yang untuk menyelenggarakan persekolahan sangat kecil.

A. MASALAH PRIORITAS
     Tujuan buku ini adalah untuk melihat kembali bukti yang merupakan dasar untuk menumbuhkan kritik, dan untuk menggambarkan implikasinya bagi pembuatan keputusan pada tahun 1980-an. Pembahasan ditujukan ke arah issue sentral yang dihadapi para pendidik dan perencana yang menghendaki pembaharuan sistem pendidikannya. Sedikit sekali negara yang sukses mengimplementasikan pembaharuan pendidikan. Dilemanya adalah sebuah pilihan antara alternatif-alternatif yang samasama tidak memuaskan bagi masyarakat dalam membuat pilihan. Banyak negara berkembang mencoba mengatasi dilema pendidikannya dengan alternatif-alternatif yang telah ditentukan dengan baik. Haruskah kepemimpinan negara menentukan
berlangsungnya sekolah menengah dan perguruan tinggi yang lebih mahal daripada pendidikan dasar? Haruskan sumber daya digunakan untuk memperluas kuantitas dan memperbaiki kualitas pendidikan 9 tahun pertama persekolahan termasuk pendidikan nonformal bagi orang dewasa? Jika pendidikan menengah dan tinggi yang diperluas, sementara akan menghasilkan pengangguran terdidik, bukankah hal ini investasi yang sia-sia? Sementara penekanan pada pendidikan dasar dan pendidikan orang dewasa menimbulkan issue kebijakan yang sulit lainnya. Apakah perbaikan sekolah dasar dapat meningkatkan ketrampilan anak dan masyarakat?
    Pemecahan kebijakan terhadap dilemma ini dan issue-issue itu bergantung pada jenis "pengembangan" yang diusahakan kepemimpinan politis. Jika tujuan utama negara adalah pertumbuhan ekonomi, para perencana menggunakan hasil keuntungan ekonomi, dapat dilakukan dengan pengurangan pengeluaran negara untuk pendidikan tinggi dan sekolah menengah ke atas, dan meningkatkan proporsi pengeluaran untuk pendidikan dasar dan latihan vokasional untuk pekerja-pekerja desa. Di beberapa negara, ada pengurangan anggaran untuk pendidikan formal. Jika tujuan utama negara adalah untuk memperbaiki standard kehidupan mayoritas penduduk yang miskin dan distribusi pendapatan, para perencana dapat meningkatkan program pendidikan orang dewasa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemecahan masalah serta memberikan dana untuk orang-orang desa untuk mengorganisasi dan memperbaiki lingkungannya. Untuk menghadapi dilema itu, tiap negara berbeda menyelesaikannya. Di Pakistan dan Colombia lebih menekankan perluasan pendidikan dasar dan mengurangi pendidikan menengah dan tinggi. Di Cina dan Kuba membatasi jumlah anak yang mengikuti lebih dari 10 tahun sekolah bagi mereka yang ingin masuk pekerjaan yang menghendaki pendidikan tinggi. Dua negara ini tujuan pendidikannya untuk mencapai melek huruf, mengembangkan tenaga kerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

B. MASALAH-MASALAH UMUM SISTEM PENDIDIKAN
     Selama 10 tahun yang lalu banyak pengamat mencatat bahwa pendidikan formal gagal memenuhi kebutuhan mayoritas yang miskin. Pendidikan formal memberikan latihan untuk daerah urban, white collar jobs, sementara banyak pekerjaan dan banyak ketrampilan yang dikembangkan cenderung manual dan untuk daerah pedesaan. Anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat melanjutkan pendidikan formal. Gunnar Myrdal, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi, menyatakan bahwa "orang miskin tidak terdidik untuk melihat minat mereka dan mereka tidak terorganisasi dalam berjuang untuk memenuhi minatnya". Issue-issue pendidikan sentral dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori:
  1. Ketidakefisienan sekolah dan sistem pendidikan, dapat diukur tingkat drop-out yang tinggi, lulusan yang tidak cakap, kurangnya kertas, pensil, buku teks, dan bahkan kurang guru; 
  2. Ketidaksepadanan antara apa yang dihasilkan sekolah dengan apa yang dibutuhkan pekerja, warga negara, pemuda, dan orang tua -- problem ini tampak dari banyaknya pengangguran terdidik;
  3. Ketidaksamaan distribusi kesempatan dan hasil pendidikan ke daerah urban dan desa.
     Masalah-masalah itu berlangsung lama dan sulit dipecahkan, dan para analis sampai pada 4 kesimpulan utama. Pertama, kurangnya pengetahuan dan batasan teknis tentang perencanaan pendidikan menjadi alasan mengapa sistem pendidikan lambat berubah. Ke dua, tujuan perubahan berencana dalam sistem pendidikan disusun oleh lembaga-lembaga politis dan ekonomis dari suatu negara. Ke tiga, kualitas dan kuantitas sekolah kurang mencapai tujuan nasional untuk mobilitas sosial dan kesamaan, pengembangan tenaga manusia untuk tumbuh belum tercapai; Ke empat, banyak investasi pendidikan untuk keuntungan sosial dan ekonomis yang tinggi daripada untuk mereka yang kurang punya. 
  • Efisiensi Investasi Pendidikan
      Efisiensi investasi pendidikan mengaitkan pencapaian kombinasi optimum input seperti latihan guru dan pengeluaran per anak dengan pencapaian tujuan dengan beaya kecil, misalnya level prestasi tertentu. Di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa input sekolah cenderung kurang diperhatikan untuk memprediksi prestasi anak, dengan tes sekolah terstandard daripada memperhatikan faktor-faktor keluarga dan faktor luar sekolah lainnya. Penataran guru yang kini dipraktekkan di banyak negara untuk meningkatkan prestasi anak mungkin hanya sebuah mitos saja.
  • Dampak Pendidikan pada Pekerjaan, Migrasi, dan Fertilitas
     Secara tradisional, pendidik memiliki perhatian yang kecil tentang apa yang terjadi setelah anak meninggalkan sekolah. Hal ini menjadi tanggungjawab keluarga, pekerja, dan menteri tenaga kerja. Issue yang muncul adalah tingkat pengangguran lulusan sekolah dan ketidakpuasan pekerja tentang apa yang telah mereka pelajari, tidak sepadannya antara persekolahan dengan pekerjaan. Martin Carnoy mengemukakan bahwa pengangguran terdidik tidak disebabkan oleh sistem pendidikan itu sendiri, melainkan justru oleh sistem ekonomi, dimana mereka mendapat keuntungan dengan tingginya tingkat pengangguran, sehingga upah bisa ditekan. Jumlah lulusan sekolah yang meningkat menyebabkan migrasi desa ke kota yang cukup tinggi. Hal ini menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang tak terkontrol. Para pembuat keputusan beranggapan bahwa makin tingginya pendidikan akan mengurangi jumlah fertilitas. Namun, belum ada penelitian yang menopang anggapan bahwa makin tinggi pendidikan makin mengurangi fertilitas.
  • Alokasi, Persamaan, dan Konflik dalam Perencanaan Pendidikan
      Belum ada petunjuk tentang pengaruh penanaman rupiah yang diinvestasikan ke buku teks terhadap skor tes anak atau pada produktivitasnya mendatang. Edgar Edwards menyatakan bahwa pertumbuhan pengangguran terdidik sebagai indikasi pertumbuhan konflik antara swasta dan sosial. Namun pekerjaan tidak akan diciptakan sampai pengangguran terdidik itu menjadi ancaman bagi stabilitas politik. Beberapa pengamat menyarankan investasi pendidikan negeri dihentikan, sehingga meningkat pendidikan swasta. Ada dua pendekatan ekonomik yang digunakan untuk menentukan apakah pemerintah perlu mengeluarkan sedikit atau banyak dana untuk pendidikan: manpower planning approach, yang menganalisis suplai calon tenaga terlatih untuk suatu pekerjaan khusus dan suplai pekerjaan yang diperlukan untuk pekerjaan itu, dan rate of return terhadap investasi pendidikan, yang menghitung keuntungan dari investasi semacam itu.
Tujuan umum merencanakan investasi dalam pendidikan adalah untuk memperbaiki kesempatan mobilitas si miskin dan mempersempit kesenjangan dalam distribusi inkam. Perluasan pendidikan dasar dan menengah adalah salah satu hasil dari investasi itu. Samuel Bowles menyatakan bahwa akar ketidaksamaan sosial di negara-negara kapitalis terletak pada struktur kelas dan dalam pengembangan ekonomi yang tidak merata. Sekolah tidak dapat secara langsung mempengaruhi ketidaksamaan ini. Para tuan tanah dan kaum elitis tradisional sedikit memiliki minat dalam memperluas sistem pendidikan, karena mereka tidak memerlukan pekerja terdidik, sementara pemilik pabrik dan administrator pemerintahan memerlukannya.
     Pertanyaannya adalah dapatkah perencanaan perubahan pendidikan mengatasi topik-topik "manpower analysis”, kesamaan, alokasi sumber daya, dan modelsistem? Dalam kesimpulan, penulis mereview issue-issue kebijakan sekitar dilema dalam pendidikan. Ada dua kelompok pemikiran mengapa perubahan pendidikan tidak lebih baik. Pertama, kelompok teknis dan inkrimental berpendapat bahwa sampai dewasa ini informasi yang lengkap tentang masalah-masalahsistem pendidikan dan sebab-sebabnya tidak lengkap untuk merancang perubahan yang dapat diimplementasikan dengan sukses. Ke dua, kelompok struktural berpendapat bahwa kekuatan politik dan ekonomi yang mempengaruhi keputusan pendidikan sangat kuat, bahwa mereka harus diubah sebelum pendidikan diharapkan dapat diubah.

C. PEMIKIRAN KEILMUAN PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA PADA PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN
     Secara kultural historis diketahui bahwa (i) kegiatan pendidikan merupakan bagian integral kebudayaan, dan berusia setua manusia yang dikenal sebagai homosapien di muka bumi; hal itu berarti bahwa kegiatan pendidikan di Indonesia telah berlangsung selama 80.000 tahunan yang lalu. Secara sosiologis hal itu berarti bahwa keluarga dan kelompok- kelompok pada masyarakat suku-suku bangsa di Nusantara 300-500 suku bangsa telah melakukan pendidikan terhadap generasi mudanya. Kegiatan pendidikan yang terkait dengan kegiatan kebudayaan tersebut juga berjalan seiring dengan jenis kehidupan kemasyarakatan, seperti masyarakat pemburu, peramu, hortikultur, agraris, dan kemudian (abad 16 terlebih lagi sejak berlakunya cultur stelsel tahun1870) industri. (ii) kegiatan kemasyarakatan sukusuku bangsa di Nusantara mewujudkan ekspresi manusiawi baik segi individualitas maupun sosialitas yang terwujud dalam kerja individual, kerjasama, konflik, perkelahian, bahkan‟ perang atau perkelahaian massal „menuruti kehendak pimpinan kelompok atau kepala suku sejalan dengan tipe warga masyarakat pemburu, peramu, hortikultutur, agraris, dan industri. Kegiatan kemasyarakatan suku-suku bangsa yang berinteraksi sesamanya tersebut dapat menghasilkan hal-hal yang monumental seperti terbentukya bahasa tertulis pada bebera suku bangsa, bangunan sejarah, pakaian, senjata, adat-istiadat, alat dan perlengkapan hidup, ataupun keraton di
**Adopsi tulisan Prof. M.Dimjati disiapkan untuk Konferensi FIP/JIP di Makasar.
     Nusantara. (iii) kegiatan kemasyarakan dan kebudayaan berbagai kelompok dan suku bangsa di Nusantara tersebut menjadi bertambah maju berkat adaptasi unsur kebudayaan bangsa lain yang berkunjung di Nusantara, atau berakibat “terhambat” berkat konflik, perselisihan, perkelahian massal atau peperangan antar penguasa kehidupan, sehingga suku-suku bangsa di Nusantara “terperangkap dalam sistem kapitalisme- koloniasisme-imperealisme budaya Eropa abad 16-20 ). (iv) secara historis, sosiologis, kultural, dan psikologis pergaulan suku- suku bangsa tersebut meninggalkan berbagai unsur kebudayan yang berupa cultural- activity, traitscomplex , traits, dan items seperti adat istiadat dan hukum adat, sistim bahasa tertulis, lembaga persekolahan (hasil adaptasi) dan lembaga pendidikan lain, alat dan perlengkapan hidup suku-suku bangsa sesuai masyarakat pemburu-peramuhortikultur- agraris dalam pola kraton beserta tradisi konflik dengan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Peninggalan perilaku kultural, sosiologi dan psikologis tersebut masih ada pada saat Indonesia merdeka, bahkan masih terjadi dewasa ini. (v) terkait dengan kegiatan pendidikan sebagai bagian integral kebudayaan tertemukan adanya ceritra rakyat dan kesusastraan dalam bahasa lisan atau tertulis, dan berbagai lokal knowledge, local philosophy (di samping filsafat
Pancasila), local language, local arts and technology beserta pola perilaku pemeliharaan anak bangsa. Peninggalan unsur-unsur kebudayan ini merupakan modal pemajuan kegiatan pendidikan dalam milenium ketiga yang sudah datang.
      Secara epistemis kritis di antara unsu-unsur kebudayaan tersebut masih dapat dilacak secara historis unsur-unsur ”tertentu“ mana yang berasal dari unsur kebudayaan India, Cina, Arab, Portugis, Belanda, Inggris (atau Eropa yang lain ) dan unsur “tertentu“ mana yang berasal dari kebudayan lokal atau suku bangsa sendiri dan mana pula yang berasal dari suku bangsa Nusantara serta yang “buatan baru“
kebudayan Nusantara (Indonesia).

D. PERMASALAHAN KELEMBAGAAN TENAGA KEPENDIDIKAN
     Pendidikan tidak saja perlu diamati sebagai sebuah bidang garap (field of practice), namun juga perlu ditempatkan sebagai bidang kajian/penelitian (field of study), bahkan sebagai sebuah pranata (institution). Sebagai sebuah bidang garapan, praktek pendidikan senantiasa mengalami permasalahan, baik yang konvensional maupun yang kontemporer. Masalah konvenional pendidikan senantiasa bergerak pada lima tema: masalah mutu, masalah relevansi, masalah pemerataan (layanan antar wilayah dan standard baku mutu), masalah efisiensi, dan masalah efektivitas. Masalah kontemporer terkait dengan sensasi-sensasi, isu-isu, dan kecenderungan-kecenderungan baru, seperti globalisasi, dampak teknologi, dan otonomi daerah. FIP/JIP dan LPTK adalah lembaga yang paling berkepentingan dengan kedudukan pendidikan sebagai bidang kajian dan sebagai pranata. Sebagai bidang kajian dan institusi, pendidikan juga sarat dengan persoalan. Berikut adalah beberapa persoalan menonjol terkait dengan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam kedudukannya sebagai bidang kajian dan sebagai pranata.
  • Tercabutnya akar filosofis teoritik ilmu pendidikan
      Tercabutnya akar filosofis teoritik ilmu pendidikan berakibat pada hilangnya identitas pendidikan sebagai disiplin ilmu. Dunia ilmu pendidikan dan komunitas pendidikan terjebak semakin dalam pada perdebatan praktek pendidikan yang tidak bisa dirunut kembali di mana akar filosofis teoritiknya. Buchori (1994) pernah mengajak komunitas kependidikan (khususnya ilmuwan pendidikan) membuat taksonomi yang tegas antara ilmu pendidikan dan praktek pendidikan, di mana praktek pendidikan harus mengabdi kepada ilmu pendidikan. Salah satu buktinya adalah (pernah hadinya) keinginan Pemerintah menyerahkan pendidikan calon-calon guru sekolah menengah untuk berbagai mata pelajaran subject matter kepada Universitas (yang membina ilmu non kependidikan) dan tidak lagi kepada IKIP/LPTK (Buchori, 1994:2). Peristiwa inilah yang pernah ditandai sebagai “lonceng kematian untuk ilmu pendidikan”.
  • Kambing hitam atas krisis moral dan kemanusaian
     Kegoyahan pemikiran dan kebijakan Pendidikan Nasional semakin keras di tengah era reformasi sekarang ini. Salah satu kritik yang sulit sekali dilawan atau diberikan bantahannya adalah klaim bahwa kebobrokan kehidupan berbangsa bernegara saat ini adalah akibat tidak mampunya dunia pendidikan menunaikan tugasnya selaku desainer sumber daya manusia. Klaim lain yang banyak ditujukan kepada perguruan tinggi pendidik tenaga pendidikan (lazim disebut LPTK) adalah tidak qualified-nya tenaga pendidik (guru) yang dihasilkannya dengan indikator tidak dikuasainya materi belajar (subject matter) yang diajarkannya di sekolahsekolah.
  • Lulusan FIP/JIP tak bisa diangkat
     Klaim lainnya adalah tidak ada jabatan formal yang bisa ditempati atau dapat menerima lulusan JIP/FIP itu, khususnya di Departemen Pendidikan Nasional. Dengan situasi itu maka pemerintah tidak bisa mengalokasikan pengangkatan mereka sebagai guru atau tenaga kependidikan. Berdasarkan alasan itu maka JIP/FIP tidak perlu ada karena hanya akan menghasilkan pengangguran.
  • Lulusan IKIP/FIP/JIP tidak menguasai bahan
     Guru-guru lulusan LPTK dianggap under-qualified untuk mengajar di sekolah karena kurang menguasai materi belajar akibat hanya belajar sebagian dari disiplin ilmu yang harus diajarkannya di sekolah. Berdasarkan alasan itu maka “produksi” tenaga guru sebaiknya diserahkan kepada universitas yang membina ilmu murni, kemudian “ditambah dengan sedikit saja ilmu keguruan”. Dengan demikian maka lulusan ilmu murni itu lebih siap menjadi guru sekolah daripada lulusan LPTK. Soal berikutnya bagi JIP/FIP adalah betapa tidak pentingnya ilmu mendidik itu bagi calon guru, karena hanya bersifat sertifikasi atau sebagai sekedar kemampuan tambahan setelah ilmu murni (specific subject matter). Berdasarkan hal-hal tersebut ada dua isu besar yang mengancam eksistensi ilmu pendidikan beserta kelembagaan FIP/JIP di Indonesia, yaitu 
  1. dipandang tidak perlunya tenaga ekspert yang menguasai teori pendidikan murni untuk pendidikan nasional,
  2. pendidikan tenaga pendidik/guru bisa dilakukan dengan cara sedikit menambah kemampuan metode keguruan untuk sarjana/mahasiswa ilmu murni.
  3. Duaisu itu menjadi demikian kritis pada masa pasca kebijakan konversi kelembagaan IKIP menjadi Universitas.
  • Kegundahan FKIP
     Pada sisi lain ada juga kegundahan sejenis yang menimpa kolega pemangku kajian pendidikan yang bernaung di dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Universitas-universitas. Kegundahan itu sebagian bersumber pada hal yang sama dengan FIP/JIP yaitu ancaman terhadap kewenangannya menghasilkan tenaga guru (karena bisa jadi diambil alih oleh komunitas ilmu murni dengan spesific subject matter jelas). Dan kegundahan yang lain bersumber pada lari atau dirampasnya sumber daya manusia dan fasilitas pendidikan (robbering resources) yang dimiliki FKIP oleh fakultas ilmu murni karena berbagai sebab atau alasan (personal atau pun kelembagaan). Secara perlahan namun pasti, FKIP di Univeritas-universitas susut menjadi bidang/fakultas kelas dua karena sebagian besar sumber daya manusianya lari/pindah kepada fakultas ilmu murni, demikian juga sebagian fasilitas pembelajaran yang dimilikinya (periksa Joni, 2000).
  • Profesionalisasi yang belum tertata
     Secara objektif masih terdapat guru dan tenaga kependidikan yang bekerja tidak sesuai dengan spesialisasinya. Guru Bahasa mengajar ketrampilan, guru matematika mengajar kesenian, pamong belajar yang asal comot dari warga kampung, kepala sekolah yang tak tahu manajemen pendidikan, pengawas yang sekedar perpanjangan masa pensiun dan tak tahu supervisi, dan segudang permasalahan profesionalisasi lainnya. Mulai sekarang profesionalisasi harus ditata. Di tengah arus kuat peminggiran JIP/FIP dan FKIP oleh komunitas ilmiah dan komunitas berbangsa-negara dan khususnya pada pendidikan tenaga kependidikan tersebut segenap “awak sistem” FIP/JIP (dan FKIP) perlu melakukan apa?

E. PENGEMBANGAN MORAL
     Apakah sekolah memiliki suatu tujuan moral? Dapatkah kebajikan diajarkan? Haruskah pembentukan karakter mengambil preseden pada latihan intelek? Apakah orang yang berkembang secara rasional, secara otomatis berkembang secara etik? Apakah sekolah-sekolah dewasa ini terbatas mengajarkan moralitas sekuler? Haruskah sekolah berhenti mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan nilai? Dalam sejarah pendidikan, para filosof, teoritisi, pekerja pendidikan dan masyarakat pada umumnya telah merespon pertanyaan-pertanyaan di atas. Di hampir semua negara, terutama pada awal-awal Amerika, mengajar tentang nilai moral secara didaktik, biasanya dengan interpretasi religius tertentu merupakan hal penting dalam proses pendidikan.
     Walaupun hubungan langsung antara agama dan sekolah memudar, namun image bahwa guru sebagai suatu model nilai perlu diakui, dan dimensi etik kegiatan sehari-hari dan hubungan kemanusiaan mewarnai suasana sekolah walaupun ada halangan kurikuler yang terkait dengan kontroversi moral. Pembahasan normatif yang mewarnai lingkungan pendidikan menyebabkan adanya pandangan bahwa sekolah adalah dunia "benar" dan "salah", "baik" dan "tidak baik". Dewasa ini,kita dihadapkan pada mencoba mendefinisikan dan menggambarkan intensi moral pendidikan negeri. Adanya kegusaran kontroversi terhadap penggunaan bahan nilai dalam pengajaran dan terhadap pendekatan metodologis tampak pada beberapa perusakan nilai. Masalah lain yang muncul dalam usaha menggambarkan peranan sekolah adalah: dapatkan usaha-usaha sekolah menjadi suplemen usaha-usaha rumah dan gereja; dapatkah sekolah mencegah hadirnya suatu "moralitas kelas menengah" yang acuh tak acuh terhadap dasar budaya dari nilai-nilai kelompok minoritas; haruskah sekolah memperjuangkan pertentangan kekuatan manipulasi nilai dari media massa dan budaya yang telah populer? Ada dua pendekatan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dewasa ini.
     Pertama, pendekatan yang awalnya dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg yang mengaitkan pertumbuhan etik dengan level kematangan kognitif, menemukan rentangan tahap-tahap moral dari penolakan hukuman sampai pengakuan prinsip-prinsip universal. Pendekatan lainnya adalah apa yang dikembangkan oleh Louis Raths, Sydney Simon, Marrill Harmin, dan Howard Kirschenbaum, yaitu klarifikasi nilai. Strategi pendidikan moral ini adalah membantu pelajar mengerti sikap, preferensi atau pilihan, dan nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Bertentangan dengan pendekatan Kohlberg yang rasional, metode ini menekankan pada perasaan, emosi, sensitivitas, dan persepsi yang disampaikan.
  1. Tahap-Tahap Pertumbuhan Moral
      Laorence Kohlberg mengemukakan pendektan pengembangan kognitif yang telah dinyatakan pertama oleh John Dewey. Pendekatan ini disebut "cognitive" karena mengakui bahwa pendidikan moral, seperti halnya pendidikan intelektual, memiliki dasar dalam menstimulasi berpikir aktif anak tentang isu-isu dan keputusan moral. Disebut pengembangan karena pendekatan ini melihat tujuan pendidikan moral sebagai gerakan melalui tahap-tahap moral. Menurut Dewey: Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan, baik intelektual maupun moral. Prinsip-prinsip etika dan psikologis dapat membentu sekolah memperbesar semua konstruksi -- membangun kebebasan dan karakter yang kuat. Dewey mengemukakan tiga level pengembangan moral:
  1. level perilaku pramoral atau pra konvensional dari yang didorong oleh dorongan biologis dan sosial yang hasilnya untuk moral,
  2. level perilaku konvensional, dimana individu menerima standard kelompoknya dengan sedikit refleksi kritis,
  3. level perilaku otonomis, dimana perilaku dibimbing oleh pemikiran dan pertimbangan individu untuk dirinya sendiri, apakah tujuan itu baik, dan apakah tidak menerima standard kelompoknya tanpa adanya pemikiran.
     Piaget mengembangkan usaha penjelasan tahap-tahap penalaran moral pada anak melalui interview aktual dan melalui observasi anak (dalam permainan dengan aturan-aturan). Ada 3 tahap pengembangan moral menurut Piaget sebagai berikut:
  1. tahap pra-moral, tidak ada rasa wajib atas peraturan-peraturan;
  2. the heteronomous stage, adanya hak untuk patuh terhadap peraturan dan kesamaan kewajiban dengan tunduk terhadap kekuasaan dan hukuman (antara umur 4 - 8 tahun);
  3. tahap otonomis, di mana tujuan dan konsekuensi mengikuti peraturan dipertimbangkan dan kewajiban didasarkan atas timbal balik dan nilai tukar ( antara umur 8 - 12 tahun).
     2.  Pertimbangan Moral vs Tindakan Moral
     Jika penalaran logis diperlukan sementara kondisi tidak memadai untuk pertimbangan moral yang matang, maka pertimbangan moral yang matang perlu tetapi dengan kondisi yang tidak memadai untuk tindakan moral yang matang. Seseorang tidak dapat mengikuti prinsip-prinsip moral jika seseorang tidak mengerti (atau meyakini) prinsip-prinsip moral. Namun orang dapat menalar prinsip-prinsip dan tidak hidup dengan prinsip-prinsip itu.

     3. Tujuan Moral dan Pendidikan Kewarganegaraan
     Psikologi moral menggambarkan pengembangan moral. Pendidikan moral harus juga mempertimbangakan filsafat moral, yang menekankan pada apakah pengembangan moral itu secara ideal bisa dicapai. Tradisi filsafat moral yang kami tunjukkan adalah tradisi liberal dan rasional, yaitu tradisi "formalistik" dan "deontologis" yang bergerak dari Immanuel Kant ke John Rawls. Inti tradisi ini adalah moralitas adalah prinsip, prinsip-prinsip yang universal dapat diterapkan kepada semua hal.

     4. Pendekatan Alternatif
       Pendekatan alternatif pertama adalah pendidikan moral indoktrinatif, mengajarkan dan pengenaanperaturan dan nilai-nilai guru dan budaya kepada murid. Di Amerika, ketika pendekatan indoktrinatif ini dikembangkan secara sistematik, pendekatan ini biasa disebut "pendidikan watak". Pendekatan alternatif ke dua adalah klarifikasi nilai. Pendekatan ini diawali dengan pendekatan rasional untuk pendidikan moral, menggunakan pertimbangan atau opini anak sendiri untuk isu-isu atau situasi di mana terjadi konflik nilai.

     5. Klarifikasi Nilai
        Howard Kirschenbaum mengemukakan tentang teori klarifikasi nilai kembali ke tahun 1964 ketika salah seorang murid Sid Simon mengatakan kepadanya tentang 7 kriteria dari Louis Raths untuk pengembangan nilai. Ia belajar bahwa jika suatu keyakinan atau perilaku dikualifikasikan sebagai nilai, menurut Raths, harus:
  1. dipilih dari alternatif-alternatif;
  2. dipilih setelah dipertimbangkan konsekuensinya;
  3. dipilih dengan bebas;
  4. dihargai dan dinilai;
  5. diperkuat secara umum;
  6. dilaksanakan;
  7. dilaksanaan dengan beberapa pola dan repetisi.
       Penulis buku ini sangat terkesan. Ia tumbuh dalam sistem pendidikan yang melakukan sedikit tetapi memoralkan dan mengindoktrinasi. Jarang penulis diberi peluang untuk menyentuh apa yang dipikirkan adalah penting, dihargai dan dinilai. Ia menyatakan dalam buku ini bahwa kita juga tidak memiliki peluang untuk menjajagi alternatif atau membuat pilihan yang bebas sebagai bagian dari pendidikan kita. Dan sekolah tidak melibatkan kita dalam bertindak; sedikit sekali yang kita lakukan dalam hidup di dunia yang nyata ini. Jika anak-anak didorong untuk melihat banyak alternatif, mempertanyakan nilai-nilai, dan bertindak sesuai dengan idealitasnya, saya yakin mereka dapat memainkan peranan yang integral dalam mengubah dan memperbaiki masyarakat dan dunia kita. Penulis ini yakin bahwa sedikit tujuan pendidikan lebih penting daripada membantu anak menentukan siapa mereka, apa pendirian mereka, dan ke mana mereka ingin pergi. Kita mengubah penekanan pada kriteria untuk suatu nilai ke proses penilaian. Kita mempertanyakan: Apakah semua proses dengan mana individumencapai identitas, mengembangkan nilai, dan menentukan apakah pendirian mereka dan apa yang mereka harapkan dari hidup? Bidang-bidang "pemilihan, penghargaan, dan perbuatan" tentang klarifikasi nilai tidak cukup waktu untuk menemukan semua jawaban.
Menurut penulis ini, ada 5 proses umum dalam mengkaji tiga bidang penilaian itu, yaitu : 
  1. Merasa,
  2. Memikirkan,
  3. Mengkomunikasikan,
  4. Memilih,
  5. Melakukan atau bertindak.
Sumber :
Soetopo, Hendyat. 2004. Pengantar Pendidikan (Teori, Pendekatan, dan Praktik). Malang: FIP UM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar